Pengajaran salah satu bagian dari Pendidikan

Pengajaran adalah pendidikan dengan cara memberi ilmu atau berfaedah buat hidup anak-anak, baik lahir maupun batin.

Pendidikan adalah tempat bersemainya benih-benih kebudayaan

Segala unsur peradaban dan kebudayaan dapat tumbuh dengan sebaik-baiknya.

Pendidikan hanya suatu tuntunan

Hidup tumbuhnya anak itu terletak di luar kecakapan atau kehendak pendidik.

Beschaving is zelfbeheersching

Adab itu berarti dapat menguasai diri.

Permainan anak adalah pendidikan

Pelajaran paca indra dan permainan anak itu tidak dipisah, yaitu dianggap satu.

Sabtu, 25 Oktober 2014

Kompetensi Kepala Sekolah, Guru Kelas Atau Guru Mata pelajaran, dan Pembina Kepramukaan


a. Kompetensi Kepala Sekolah

Dalam Pendidikan Kepramukaan sebagai Ekstrakurikuler Wajib, kepala  sekolah  mempunyai  tanggung  jawab  terhadap keterlaksanaan  Kurikulum  2013  melalui  pendidikan Kepramukaan. Untuk itu kompetensi kepala sekolah dalam Pendidikan Kepramukaan sebagai Ekstrakurikuler Wajib adalah sebagai berikut.
  1. Minimal mempunyai sertifikat kursus orientasi Majelis Pembimbing Gugus Depan Gerakan Pramuka dan atau berijasah KMD.
  2. Memahami peran kepala sekolah selaku Ketua Majelis Pembimbing Gugus Depan Gerakan Pramuka di sekolahnya.
  3. Mengelola gugus depan dengan baik dan benar.
  4. Memberikan bimbingan dan bantuan yang bersifat moral, organisatoris, material, finansial, dan konsultatif kepada pembina pramuka, guru, peserta didik, dan gudep di sekolahnya.
  5. Memecahkan masalah-masalah organisatoris, moral, mental, psiko-logis,  finansial  yang  terjadi  dalam  pelaksanaan pendidikan kepra-mukaan gugus depan yang berpangkalan di satuan pendidikan.
  6. Memfasilitasi pemenuhan kebutuhan sarana, prasarana, dan sumber  belajar  dalam  pelaksanaan  pendidikan kepramukaan.
  7. Menyerap  aspirasi  masyarakat  untuk  pengembangan pendidikan kepramukaan di sekolahnya.
  8. Mengadakan hubungan koordinasi, kerjasama dan saling memberi informasi dengan pemangku kebijakan, gugus depan dan kwartir ranting/cabang.
  9. Memberikan  laporan  pelaksanaan  ekstrakurikuler pendidikan Kepramukaan kepada orang tua melalui raport peserta didik dan lembaga lain yang terkait secara periodik maupun secara insidentil.
  10. Menghadiri musyawarah gugus gepan, musyawarah kwartir ranting dan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh gugus depan atau di tingkat kwartir.
b. Kompetensi Guru Kelas/Guru Mata pelajaran yang menjadi Pembina Pramuka
Oleh karena pelaksanaan Kurikulum 2013 dikembangkan secaraterpadu, guru kelas/guru mata pelajaran haruslah mempunyai kompetensi pendidikan kepramukaan. Dengan begitu, guru dapat mengaitkan, menghubungkan, dan memadupadankantema/topik  matapelajaran  dengan  menu  Pendidikan Kepramukaan sebagai Ekstrakurikuler Wajib. Berkaitan dengan hal itu, berikut ini kompetensi yang harus dikuasai guru.
  1. Memahami  pendidikan  kepramukaan  sebagai  kegiatan ekstra-kurikuler wajib di sekolahnya dan wahana penguatan sikap serta keterampilan peserta didik.
  2. Mengaktualisasikan materi pembelajaran dengan pendidikan Kepramukaan.
  3. Memiliki  kemampuan  membina  peserta  didik  dalam pelaksanaan pendidikan kepramukaan yang dibuktikan dengan sertifikat sekurang-kurangnya KMD.
  4. Menerapkan  Prinsip  Dasar  Kepramukaan,  Metode Kepramukaan, Sistem Among dan Kiasan Dasar dalam proses pembinaan.
  5. Mengikuti perkembangan kegiatan kepramukaan bernuansa kekinian (up to date), bermanfaat bagi peserta didik, dan masyarakat lingkungannya, serta tetap berada dalam koridor ketaatan terhadap Kode Kehormatan Pramuka.
  6. Memerankan diri sebagai:
    • Orang tua yang dapat memberi penjelasan, nasihat, pengarahan, dan bimbingan
    • Guru yang mengajarkan berbagai keterampilan dan pengetahuan
    • Kakak  yang  dapat  melindungi,  mendampingi,  dan membimbing adik-adiknya, yang memberi kesempatan untuk memimpin dan mengelola.
    • Mitra, teman yang dapat dipercaya, bersama-sama menggerakkan  kegiatan-kegiatan  agar  menarik, menyenangkan  dan  penuh  tantangan  sesuai  usia golongan Pramuka,
    • Konsultan, tempat bertanya, dan berdiskusi tentang berbagai masalah
    • Motivator, memotivasi untuk meningkatkan kualitas diri dengan berkreativitas, berinovasi, dan aktualisasi diri, dan membangun semangat untuk maju.
    • Fasilitator, memfasilitasi kebutuhan dalam kegiatan peserta didik.
     
c. Kompetensi Pembina Pramuka
Pembina Pramuka adalah anggota dewasa yang memiliki komitmen tinggi terhadap prinsip-prinsip dalam Kepramukaan, secara sukarela bergiat bersama peserta didik, sebagai mitra yang peduli terhadap kebutuhan peserta didik, dengan penuh kesabaran  memotivasi,  membimbing,  membantu,  serta memfasilitasi kegiatan pembinaan peserta didik.
Berikut ini komptensi pembina Pramuka.
  • Mempunyai kemampuan membina yang dibuktikan oleh (sekurang-kurangnya) berijasah KMD dan atau KML.
  • Memahami kebutuhan Kurikulum 2013 dalam menjalankan sikap dan keterampilan yang harus dimiliki peserta didik.
  • Menjadi Teladan dan Panutan bagi peserta didik.
  • Memberikan pembinaan agar peserta didik:
  1. memiliki  berkepribadian  yang  beriman,  bertakwa, berakhlak mulia, berjiwa patriotik, taat hukum, disiplin, menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa, berkecakapan hidup, sehat jasmani dan rohani.
  2. menjadi warga negara yang berjiwa Pancasila, setia dan patuh kepada Negara Kesatuan Rebuplik Indonesia serta menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna, yang dapat membangun dirinya sendiri secara mandiri serta  bersama-sama  bertanggung  jawab  atas pembangunan bangsa dan Negara, memiliki kepedulian terhadap sesama hidup dan alam lingkungan.
  • Menerapkan  Prinsip  Dasar  Kepramukaan,  Metode Kepramukaan, Sistem Among dan Kiasan Dasar dalam proses pembinaan.
  • Memberi  pengayaan  dengan  mengikuti  perkembangan sehingga kegiatan kepramukaan bernuansa kekinian (up to date), bermanfaat bagi peserta didik dan masyarakat lingkungannya, serta tetap berada dalam koridor ketaatan terhadap Kode Kehormatan Pramuka.
  • Menghidupkan, membesarkan gugus depan dengan selalu memelihara kerjasama yang baik dengan orang tua/wali Pramuka dan masyarakat.
  • Melaporkan hasil pendidikan kepramukaan kepada orang tua dan masyarakat melalui nilai raport ektrakurikuler wajib.
  • Mempunyai tanggung jawab terhadap:
    • Terselenggaranya kepramukaan yang teratur dan terarah sesuai dengan visi dan misi Gerakan Pramuka.
    • Terjaganya pelaksanaan Prinsip Dasar Kepramukaan dan Metode Kepramukaan pada semua kegiatan Pramuka
    • Pembinaan pengembangan mental, moral, spiritual, fisik, intelektual, emosional, dan sosial peserta didik, sehingga memiliki  kematangan  dalam  upaya  peningkatan kemandirian serta aktivitasnya di masyarakat.
    • Terwujudnya  peserta  didik  yang  berkepribadian, berwatak, berbudi pekerti luhur, dan sebagai warga yang setia, patuh dan berguna bagi bangsa dan negaranya.
    • Dalam pengabdiannya, Pembina Pramuka bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, Masyarakat, gugus depan, dan diri pribadinya sendiri.
    Memerankan diri sebagai:
    • Orang tua yang dapat memberi penjelasan, nasehat, pengarahan dan bimbingan
    • Guru yang mengajarkan berbagai keterampilan dan pengetahuan
    • Kakak  yang  dapat  melindungi,  mendampingi  dan membimbing adik-adiknya, yang memberi kesempatan untuk memimpin dan mengelola satuannya
    • Mitra, teman yang dapat dipercaya, bersama-sama menggerakkan kegiatan agar menarik, menyenangkan, dan penuh tantangan sesuai usia golongan Pramuka,
    • Konsultan, tempat bertanya, dan berdiskusi tentang berbagai masalah
    • Motivator, memotivasi untuk meningkatkan kualitas diri dengan berkreativitas, berinovasi, dan aktualisasi diri, membangun semangat untuk maju.
    • Fasilitator, memfasilitasi kebutuhan dalam kegiatan peserta didik
Untuk  meningkatkan  kualitas  pelaksanaan  pendidikan kepramukaan di satuan pendidikan, diperlukan upaya peningkatan kemampuan kepala sekolah, guru, dan pembina dalam mengelola pendidikan kepramukaan. Peningkatan kemampuan tersebut dapat dilaksanakan  melalui  pola  pengembangan  dan  penyegaran kompetensi  yang  terarah,  terpadu,  terus  menerus,  dan berkenimbungan. Berikut ini aktivitas yang perlu dilakukan untuk pengembangan dan penyegaran kompetensi pengelola Pendidikan Kepramukaan sebagai Ekstrakurikuler Wajib.
  1. Mengikuti kursus-kursus yang dilakukan Gerakan Pramuka.
  2. Mendiskusikan problematika yang terjadi saat pelaksanaan pendidikan kepramukaan.
  3. Mengikuti karang pamitran (pertemuan para pembina Pramuka dari pangkalan lainnya) yang diselenggarakan kwartir ranting, cabang, atau daerah.
  4. Mengikuti perkembangan pelaksanaan pendidikan kepramukaan melalui majalah, surat kabar, atau media lainnya.
  5. Mengikuti bimbingan teknis pengelolaan gugus depan yang diadakan oleh dinas pendidikan atau kementerian pendidikan dan kebudayaan.
  6. Membaca  buku-buku  kepramukaan  dan  peraturan kepramukaan.
Sumber Rujukan :
LAMPIRAN I
PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2014 TENTANG PENDIDIKAN KEPRAMUKAAN SEBAGAI EKSTRAKURIKULER WAJIB
PEDOMAN PENDIDIKAN KEPRAMUKAAN SEBAGAI EKSTRAKURIKULER WAJIB PADA PENDIDIKAN DASAR DAN PENDIDIKAN MENENGAH

Jumat, 24 Oktober 2014

Guru Sebagai Pengembang Budaya Sekolah


A. Pengertian Budaya Sekolah

Budaya sekolah adalah tradisi, nilai, norma dan kebijakan yang menjadi acuan dan keyakinan suatu sekolah yang dikembangkan dan digunakan bersama melalui kepemimpinan kepala sekolah (Fisher, D, 2012). Budaya sekolah mengatur dan mengikat hubungan antara pimpinan dengan guru, antarguru, guru dan peserta didik, guru-orang tua dan masyarakat sebagai kepedulian dan komitmen untuk meningkatkan keberhasilan belajar peserta didik.

Wujud budaya belajar dalam suatu kelompok kehidupan dapat dilihat pada dua kategori bentuk. Pertama, perwujudan budaya belajar yang bersifat abstrak yaitu konsekuensi dari cara pandang budaya belajar sebagai sistem pengetahuan yang diyakini oleh individu atau kelompok tertentu sebagai pedoman dalam belajar. Perwujudan budaya belajar yang abstrak berada dalam sistem gagasan atau ide yang bersifat abstrak akan tetapi beroperasi. Kedua,  perwujudan  budaya  yang  bersifat  kongkrit. Perwujudan budaya belajar secara konkrit dapat dilihat dalam bentuk; 
  1. perilaku belajar 
  2. ungkapan bahasa dalam belajar; dan 
  3. hasil belajar berupa material. 
Budaya belajar dalam bentuk perilaku tampak dalam interaksi sosial. Perilaku belajar individu atau kelompok yang berlatar belakang  status  sosial  tertentu  mencerminkan  pola  budaya belajarnya. Perwujudan perilaku belajar individu atau kelompok sosial dapat juga dilihat dari kondisi resmi dan tidak resmi juga. Perbedaan dalam kondisi mencerminkan adanya nilai, norma dan aturan yang berbeda. Bahasa adalah salah satu perwujudan budaya belajar secara kongkrit pada individu atau kelompok sosial. Kekurangan dalam menggunakan bahasa sedikit banyak akan menghambat percepatan dalam merealisasikan dan mengembangkan budaya belajar. Hasil belajar berupa material menjadikan perwujudan konkret dari sistem budaya belajar individu atau kelompok sosial. Hasil belajar tidak saja berbentuk benda melainkan keterampilan yang mengarahkan pada keterampilan hidup (life skill).

Di dalam Kurikulum 2013 perkembangan konsep pembelajaran telah mencapai pengertian dari pembelajaran sebagai suatu sistem, dimana dalam pengertian ini cakupannya sangat luas, dilihat dari berbagai aspek yang dapat terlibat dalam proses pembelajaran, tidak hanya adanya interaksi antara seorang pendidik dan peserta didik saja, serta model pembelajaran yang dikembangkan dalam Kurikulum 2013 ini, yaitu model behavioristik yang lebih menitikberatkan pada aspek afektif dari peserta didik yang disebabkan karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih, yang menyebabkan peserta didik mengesampingkan aspek afektif, sehingga dalam Kurikulum 2013 ini, yang ingin lebih ditonjolkan adalah aspek afektifnya, supaya generasi penerus bangsa mewarisi budaya-budaya Indonesia yang ramah dan berakhlak mulia. Dalam kerangka menciptakan budaya belajar sejarah yang baik maka seorang guru sejarah tidak hanya mampu berinteraksi dengan baik dengan sesam guru, peserta didik, orang tua dan masyarakat, tetapi juga dapat dijadikan suri tauladan bagi peserta didiknya.

B. Pengembangan Budaya Sekolah
Budaya sekolah adalah sesuatu yang dikembangkan, diarahkan kembali (reshaping), dan diperkaya agar mampu meningkatkan kinerja dan akuntabilitas sekolah. Untuk itu diperlukan adanya:
  1. Persamaan pengertian mengenai apa yang disebut dengan budaya sekolah dan apa komponen budaya sekolah yang dikembangkan dan dijadikan unggulan.
  2. Menentukan kriteria keberhasilan proses pelaksanaan budaya sekolah dan hasil dari budaya sekolah yang dikembangkan.
  3. Menentukan alat ukur keberhasilan dan cara penilaian keberhasilan.
Untuk menentukan keberhasilan pengembangan dan pelaksanaan budaya sekolah, perlu ditempuh langkah-langkah berikut:
  1. Merumuskan secara jelas peran dan tugas kepala sekolah, guru, komite sekolah, dan orangtua peserta didik.
  2. Mengembangkan  mekanisme  komunikasi  antarkomponen  yangdisebutkan di atas.
  3. Berbagi informasi mengenai pencapaian dan keberhasilan sekolah melalui koran/majalah dinding sekolah, website, dan selebaran serta bentuk lainnya.
1. Peran Kepala Sekolah
Kepala sekolah adalah pemimpin pendidikan suatu sekolah (educational leader). Kepala sekolah memiliki peran penting dalam manajemen untuk mengembangkan budaya sekolah sehingga tercipta suasana kerja yang edukatif, berorientasi pada kualitas, peningkatan kepedulian pemangku kepentingan, dan peningkatan hasil belajar peserta didik.

2. Hubungan Guru dengan Guru
Hubungan guru dengan guru menentukan keberhasilan pelaksanaan pembelajaran pendidikan Sejarah dan Kurikulum 2013. Hubungan tersebut adalah hubungan profesional antara guru yang mengajar Sejarah dengan guru yang mengajar mata pelajaran yang sama di kelas berbeda, dengan guru yang mengajar mata pelajaran Sejarah Indonesia dan dengan guru lain yang mengajar mata pelajaran lain baik dalam kelompok peminatan Ilmu-Ilmu Sosial maupun dalam kelompok peminatan lain bahkan dengan kelompok mata pelajaran wajib. Kerjasama antara guru tersebut diperlukan dalam mengembangkan ketrampilan berpikir (sejarah), keterampilan mengembangkan dalam langkah  pembelajaran  (mengamati,  menanya,  mengumpulkan informasi,  menalar/mengasosiasi,  mengomunikasikan),  dalam mengembangkan nilai, dan penilaian hasil belajar. Tujuan dari kerjasama ini adalah untuk sinkronisasi pengembangan ketrampilan, dan nilai serta kebiasan yang diiwujudkan dalam bentuk RPP.

3. Hubungan Guru dengan Peserta Didik.
Tugas utama guru adalah berusaha mengembangkan segenap potensi peserta didiknya secara optimal, agar mereka dapat mandiri dan berkembang menjadi manusia-manusia yang cerdas, baik cerdas secara fisik, intelektual, sosial, emosional, moral dan spiritual. Sebagai konsekuensi logis dari tugas yang diembannya, guru senantiasa berinteraksi dan berkomunikasi dengan peserta didiknya. Dalam konteks tugas, hubungan diantara keduanya adalah hubungan profesional, yang diikat oleh kode etik. Berikut ini disajikan nilai-nilai dasar dan operasional yang membingkai sikap dan perilaku etik guru dalam berhubungan dengan peserta didik, sebagaimana tertuang dalam rumusan Kode Etik Guru Indonesia (KEGI):
  1. Guru berperilaku secara profesional dalam melaksanakan tugas mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi proses dan hasil pembelajaran.
  2. Guru membimbing peserta didik untuk memahami, menghayati dan mengamalkan hak-hak dan kewajiban sebagai individu, warga sekolah, dan anggota masyarakat.
  3. Guru mengetahui bahwa setiap peserta didik memiliki karakteristik secara individual dan masing-masingnya berhak atas layanan pembelajaran.
  4. Guru  menghimpun  informasi  tentang  peserta  didik  dan menggunakannya untuk kepentingan proses kependidikan.
  5. Guru secara perseorangan atau bersama-sama secara terus-menerus berusaha menciptakan, memelihara, dan mengembangkan suasana sekolah yang menyenangkan sebagai lingkungan belajar yang efektif dan efisien bagi peserta didik.
  6. Guru menjalin hubungan dengan peserta didik yang dilandasi rasa kasih sayang dan menghindarkan diri dari tindak kekerasan fisik yang di luar batas kaidah pendidikan.
  7. Guru berusaha secara manusiawi untuk mencegah setiap gangguan yang dapat mempengaruhi perkembangan negatif bagi peserta didik.
  8. Guru secara langsung mencurahkan usaha-usaha profesionalnya untuk  membantu  peserta  didik  dalam  mengembangkan keseluruhan kepribadiannya, termasuk kemampuannya untuk berkarya.
  9. Guru menjunjung tinggi harga diri, integritas, dan tidak sekali-kali merendahkan martabat peserta didiknya.
  10. Guru bertindak dan memandang semua tindakan peserta didiknya secara adil.
  11. Guru berperilaku taat asas kepada hukum dan menjunjung tinggi kebutuhan dan hak-hak peserta didiknya.
  12. Guru terpanggil hati nurani dan moralnya untuk secara tekun dan penuh perhatian bagi pertumbuhan dan perkembangan peserta didiknya.
  13. Guru membuat usaha-usaha yang rasional untuk melindungi peserta didiknya dari kondisi-kondisi yang menghambat proses belajar, menimbulkan gangguan kesehatan, dan keamanan.
  14. Guru tidak boleh membuka rahasia pribadi peserta didiknya untuk alasan-alasan yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan pendidikan, hukum, kesehatan, dan kemanusiaan.
  15. Guru  tidak  boleh  menggunakan  hubungan  dan  tindakan profesionalnya kepada peserta didik dengan cara-cara yang melanggar norma sosial, kebudayaan, moral, dan agama.
  16. Guru tidak boleh menggunakan hubungan dan tindakan profesional dengan  peserta  didiknya  untuk  memperoleh  keuntungan- keuntungan pribadi.
Dalam budaya Indonesia, hubungan guru dengan peserta didik sesungguhnya tidak hanya terjadi pada saat sedang melaksanakan tugas atau selama berlangsungnya pemberian pelayanan pendidikan. Meski seorang guru sedang dalam keadaan tidak menjalankan tugas, atau sudah lama meninggalkan tugas (purna bhakti), hubungan dengan peserta didiknya (mantan peserta didik) relatif masih terjaga. Bahkan di kalangan masyarakat tertentu masih terbangun “sikap patuh pada guru” (dalam bahasa psikologi, guru hadir sebagai “reference group”). Meski secara formal, tidak lagi menjalankan tugas-tugas keguruannya, tetapi hubungan batiniah antara guru dengan peserta didiknya masih relatif kuat, dan sang peserta didik pun tetap berusaha menjalankan segala sesuatu yang diajarkan gurunya.

Dalam keseharian kita melihat kecenderungan seorang guru ketika bertemu dengan peserta didiknya yang sudah sekian lama tidak bertemu. Pada umumnya, sang guru akan tetap menampilkan sikap dan perilaku keguruannya, meski dalam wujud yang berbeda dengan semasa masih dalam asuhannya. Dukungan dan kasih sayang akan dia tunjukkan. Aneka nasihat, petatah-petitih akan meluncur dari mulutnya.

Begitu juga dengan sang peserta didik, sekalipun dia sudah meraih kesuksesan hidup yang jauh melampaui dari gurunya, baik dalam jabatan, kekayaan atau ilmu pengetahuan, dalam hati kecilnya akan terselip rasa hormat, yang diekspresikan dalam berbagai bentuk, misalnya: senyuman, sapaan, cium tangan, menganggukkan kepala, hingga memberi kado tertentu yang sudah pasti bukan dihitung dari nilai uangnya. Inilah salah satu kebahagian seorang guru, ketika masih bisa sempat menyaksikan putera-puteri didiknya meraih kesuksesan hidup. Rasa hormat dari para peserta didiknya itu bukan muncul secara otomatis tetapi justru terbangun dari sikap dan perilaku profesional yang ditampilkan sang guru ketika masih bertugas memberikan pelayanan pendidikan kepada putera-puteri didiknya.

4. Hubungan Guru dengan Orang tua Peserta didik.
Guru dalam pandangan masyarakat adalah orang yang melaksanakan pendidikan di tempat-tempat tertentu. Guru menempati kedudukan terhormat di masyarakat. Kewibawaanlah yang membuat mereka dihormati. Para orangtua yakin bahwa gurulah yang dapat mendidik anak didik mereka agar menjadi orang yang berkepribadian mulia. Jadi guru, adalah sosok figur yang menempati posisi dan memegang peranan penting dalam pendidikan. Menjadi guru berdasarkan tuntutan pekerjaan adalah suatu pekerjaan yang mudah, tetapi menjadi guru berdasarkan panggilan jiwa dan tuntutan hati nurani adalah tidak mudah (Djamarah, 2005).

Orangtua adalah orang yang telah melahirkan kita atau orang yang mempunyai pertalian darah. Orangtua juga merupakan public figure yang pertama menjadi contoh bagi anak-anak. Karena pendidikan pertama yang didapatkan anak-anak adalah dari orangtuanya.

Orangtua dan guru adalah satu tim dalam pendidikan anak, untuk itu keduanya perlu menjalin hubungan baik. Bagi anak-anak yang sudah masuk sekolah, waktunya lebih banyak dihabiskan bersama para guru daripada dengan orangtua. Kedengarannya mungkin agak mengejutkan, tapi memang begitulah kenyataannya. Ketika orangtua pulang dari tempat bekerja, anak-anak biasanya juga baru tiba dari mengikuti kegiatan setelah jam sekolah. Hanya tersisa waktu beberapa jam saja untuk makan malam bersama, menyelesaikan pekerjaan rumah dan mungkin menghadiri acara anak-anak, setelah itu semuanya tidur.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar terjalin hubungan baik antara  orangtua  dan  guru  dengan  orangtua  peserta  didik; 
  1. Perkenalkan anak dengan gurunya,
  2. Mendatangi pertemuan orangtua-guru, 
  3. Senantiasa berprasangka baik kepada guru, 
  4. Berkomunikasilah secara teratur, dan 
  5. Berikanlah sumbangan. 
Guru dan orangtua peserta didik, sama-sama menginginkan yang terbaik untuk pendidikan anak-anak. Jika Anda mendengar kabar yang buruk tentang guru, apakah ia galak, jahat, atau tidak obyektif, maka tetap pertahankan hubungan baik Anda dengan sang guru. Cari tahu masalah yang sebenarnya dengan menghubungi guru itu secara sopan. Jangan mengeluarkan kata-kata yang buruk mengenai guru di depan anak Anda. Tetap fokus terhadap masalah yang dihadapi, jadikan itu latihan bagi Anak bersikap terbuka. Berkaitan dengan hubungan antara guru dan orangtua, dalam kode etik guru telah disebutkan tentang hal tersebut, yaitu dalam pasal 6 (Nilai-Nilai Dasar dan Nilai-nilai  Operasional)  bagian  2  tentang;  Hubungan  Guru  dengan Orangtua/wali Peserta didik: 
  1. Guru berusaha membina hubungan kerjasama yang efektif dan efisien dengan Orangtua/Wali peserta didik dalam melaksanakan proses pendidikan, 
  2. Guru memberikan informasi kepada orangtua/wali secara jujur dan objektif mengenai perkembangan peserta didik, 
  3. Guru merahasiakan informasi setiap peserta didik kepada orang lain yang bukan orangtua/walinya, 
  4. Guru memotivasi orangtua/wali peserta didik untuk beradaptasi dan berpatisipasi  dalam  memajukan  dan  meningkatkan  kualitas pendidikan, 
  5. Guru berkomunikasi secara baik dengan orangtua/wali peserta didik mengenai kondisi dan kemajuan peserta didik dan proses kependidikan pada umumnya. 
  6. Guru menjunjung tinggi hak orangtua/wali peserta didik untuk berkonsultasi dengannya berkaitan dengan kesejahteraan kemajuan, dan cita-cita anak atau anak-anak akan pendidikan, 
  7. Guru tidak boleh melakukan hubungan dan tindakan profesional dengan orangtua/wali peserta didik untuk memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi.
5. Hubungan Guru dengan Masyarakat.
Guru perlu memelihara hubungan baik dengan masyarakat yang lebih luas untuk kepentingan pendidikan,misalnyamengadakan kerjasama dengan tokoh masyarakat tertentu yang berorientasi pada peningkatan mutu pembelajaran mata pelajaran yang diampunya. Beberapa hal yang hendaknya dilakukan guru dalam hubungannya dengan masyarakat; 
  1. Menghormati tanggung jawab dasar dari orangtua terhadap anak, 
  2. Menciptakan dan memelihara hubungan-hubungan yang ramah dan  kooperatif  dengan  rumah,  
  3. Membantu  memperkuat kepercayaan murid terhadap rumahnya sendiri dan menghindarkan ucapan yang mungkin merusak kepercayaan itu, 
  4. Menghormati masyarakat dimana ia bekerja dan bersikap setia kepada sekolah, masyarakat, bangsa, dan negara, serta 
  5. kut serta aktif dalam kehidupan masyarakat.
6. Keteladanan Guru
Dalam dunia pendidikan pada umumnya dan dalam pembelajaran pada khususnya, keteladanan sangat diperlukan dan memiliki makna yang sangat tinggi. Dengan demikian, keberhasilan pada dunia pendidikan, khususnya keberhasilan pembelajaran yang dilakukan seorang guru salah satunya juga ditentukan oleh seberapa besar keteladanan yang diberikan pendidik dan tenaga kependidikan. 

Pada usia anak-anak (sebelum anak memasuki perguruan tinggi) masih sangat labil dan mencari-cari figur yang akan ditiru oleh anak didik yang sesuai dengan kondisi diri masing-masing. Dalam kondisi sebagaimana dikemukakan, nampak bahwa karakter anak didik pada tahap awal sangat dipengaruhi oleh bagaimana kondisi lingkungan yang ada. Untuk dapat memberikan kontribusi yang dapat membentuk karakter anak didik sebagaimana yang diharapkan bersama, maka seluruh  pendidik  dan  tenaga  kependidikan  yang  ada harus menciptakan suasana lingkungan yang kondusif. Pendidik dan tenaga kependidikan harus memberikan dan menciptakan kondisi lingkungan yang mendukung harapan kita semua kepada anak didik. Ingin kita bentuk seperti apa anak didik kita, maka seperti keinginan kita itulah lingkungan  harus  dibentuk  oleh  pendidik  dan  tenaga kependidikan. Lingkungan yang dibentuk oleh pendidik dan tenaga kependidikan tidak dapat bertentangan (tolak belakang) dengan harapan kita.

Sumber Rujukan :
PEDOMAN PEMBELAJARAN TEMATIK TERPADU
PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG KURIKULUM 2013 SEKOLAH DASAR/MADRASAH IBTIDAIYAH.

Kamis, 23 Oktober 2014

Model Pembelajaran


Pembelajaran tematik terpadu dapat dilaksanakan dengan menggunakan berbagai model pembelajaran. Model adalah sesuatu yang direncanakan, direkayasa, dikembangkan, diujicobakan, lalu dikembalikan pada badan yang mendesainnya, kemudian diujicoba ulang, baru menjadi sesuatu yang final. Melalui tahapan tersebut, maka suatu model dapat melaksanakan fungsinya sebagaimana mestinya. Ilmiah, (George L. Gropper dan Paul A. Ross dalam Oemar Hamalik, 2000).

Model, suatu struktur secara konseptual yang telah berhasil dikembangkan dalam suatu bidang, dan sekarang diterapkan, terutama untuk membimbing penelitian dan berpikir dalam bidang lain, biasanya dalam bidang yang belum begitu berkembang, (Marx, 1976). Model adalah kerangka konseptual yang dipakai sebagai pedoman dalam melakukan suatu kegiatan.

Model pembelajaran merupakan suatu kerangka konseptual yang melukiskan prosedur secara sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan  aktivitas  pembelajaran,  (Winataputra,  1996).  Model pembelajaran berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pembelajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran.

Berikut ini akan dibahas beberapa model pembelajaran dari sekian model yang telah banyak dikembangkan, antara lain: Model Pembelajaran Langsung, Model  Pembelajaran  Kooperatif,  Pembelajaran  Kontekstual,  Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing, Problem Based Learning.

1. Model Pembelajaran Langsung (Direct Instruction)
Proses pembelajaran langsung adalah proses pendidikan di mana peserta didik  mengembangkan  pengetahuan,  kemampuan  berpikir  dan keterampilan psikomotorik melalui interaksi langsung dengan sumber belajar yang dirancang dalam silabus dan RPP berupa kegiatan-kegiatan pembelajaran. Dalam pembelajaran langsung tersebut peserta didik melakukan  kegiatan  belajar  mengamati,  menanya,  mengumpulkan informasi, mengasosiasi atau menganalisis, dan mengkomunikasikan apa yang sudah ditemukannya dalam kegiatan analisis. Proses pembelajaran langsung menghasilkan pengetahuan dan keterampilan langsung atau yang disebut dengan instructional effect.
Ciri-ciri model pembelajaran langsung antara lain:
  1. Adanya tujuan pembelajaran dan prosedur penilaian hasil belajar
  2. Sintaks atau pola keseluruhan dan alur kegiatan pembelajaran
  3. Sistem  pengelolaan  dan  lingkungan  belajar  yang  mendukung berlangsung dan berhasilnya pengajaran
Sintaks kegiatan pembelajaran langsung
 

2. Model Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning)
Ciri-ciri model pembelajaran kooperatif antara lain:
  1. Untuk menuntaskan materi belajar, siswa belajar dalam kelompok secara kooperatif
  2. Kelompok dibentuk dari siswa-siswa yang memiliki kemampuan heterogen
  3. Jika dalam kelas terdiri dari beberapa ras, suku, budaya, jenis kelamin yang berbeda, maka diupayakan agar tiap kelompok berbaur
  4. Penghargaan lebih diutamakan pada kerja kelompok daripada perorangan
Tujuan :
a. Hasil Belajar Akademik
    Meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik
b. Penerimaan terhadap keragaman
    Siswa dapat menerima teman-temannya yang beraneka latar belakang..
c. Pengembangan ketrampilan sosial
Sintaks kegiatan pembelajaran kooperatif

3. Model Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning)
Pembelajaran Kontekstual mengasumsikan bahwa secara natural pikiran mencari makna konteks sesuai dengan situasi nyata lingkungan seseorang melalui pencarian hubungan masuk akal dan bermanfaat. Melalui pemaduan materi yang dipelajari dengan pengalaman keseharian siswa akan menghasilkan dasar-dasar pengetahuan yang mendalam. Siswa akan mampu menggunakan pengetahuannya untuk menyelesaikan masalah- masalah baru dan belum pernah dihadapinya dengan peningkatan pengalaman dan pengetahuannya. Siswa diharapkan dapat membangun pengetahuannya yang akan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dengan memadukan materi pelajaran yang telah diterimanya di sekolah.

Pembelajaran Kontekstual merupakan satu konsepsi pengajaran dan pembelajaran yang membantu guru mengaitkan bahan subjek yang dipelajari dengan situasi dunia sebenarnya dan memotivasikan pembelajar untuk membuat kaitan antara pengetahuan dan aplikasinya dalam kehidupan harian mereka sebagai ahli keluarga, warga masyarakat, dan pekerja.

Pembelajaran Kontekstual adalah sebuah sistem belajar yang didasarkan pada filosofi bahwa siswa mampu menyerap pelajaran apabila mereka menangkap makna dalam materi akademis yang mereka terima, dan mereka menangkap makna dalam tugas-tugas sekolah jika mereka bisa mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan dan pengalaman yang sudah mereka miliki sebelumnya (Elaine B. Johnson, 2007:14).
 
Dalam Pembelajaran Kontekstual, ada delapan komponen yang harus ditempuh, yaitu: (1) Membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna, (2) melakukan pekerjaan yang berarti, (3) melakukan pembelajaran yang diatur sendiri, (4) bekerja sama, (5) berpikir kritis dan kreatif, (6) membantu individu untuk tumbuh dan berkembang, (7) mencapai standar yang tinggi, dan (8) menggunakan penilaian otentik (Elaine B. Johnson, 2007: 65-66).

Berdasarkan pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa Pembelajaran Kontekstual adalah mempraktikkan konsep belajar yang mengaitkan materi yang dipelajari dengan situasi dunia nyata siswa. Siswa secara bersama- sama membentuk suatu sistem yang memungkinkan mereka melihat makna di dalamnya.

Pembelajaran Kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu para guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi nyata  siswa  dan  mendorong  siswa  membuat  hubungan  antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru kepada siswa. Proses pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil.

Pembelajaran Kontekstual adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan meraka (Sanjaya, 2005:109).

Dari konsep tersebut ada tiga hal yang harus kita pahami. Pertama, Pembelajaran Kontekstual menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi. Artinya, proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks Pembelajaran Kontekstual tidak mengharapkan agar siswa hanya menerima pelajaran, tetapi yang diutamakan adalah proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran.

Kedua,  Pembelajaran  Kontekstual  mendorong  agar  siswa  dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata. Artinya, siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting sebab dengan dapat mengkorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, materi yang dipelajarinya itu akan bermakna secara fungsional dan tertanam erat dalam memori siswa sehingga tidak akan mudah terlupakan.

Ketiga, Pembelajaran Kontekstual mendorong siswa untuk dapat menerapkan pengetahuannya dalam kehidupan. Artinya, Pembelajaran Kontekstual tidak hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang  dipelajarinya,  tetapi  bagaimana  materi  itu  dapat  mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Materi pelajaran dalam konteks Pembelajaran Kontekstual tidak untuk ditumpuk di otak dan kemudian dilupakan, tetapi sebagai bekal bagi mereka dalam kehidupan nyata.

Terdapat lima karakteristik penting dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan Kontekstual:
  1. Dalam Pembelajaran Kontekstual pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activing knowledge). Artinya, apa yang akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari. Dengan demikian, pengetahuan yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh yang memiliki keterkaitan satu sama lain.
  2. Pembelajaran yang kontekstual adalah pembelajaran dalam rangka memperoleh  dan  menambah  pengetahuan  baru  (acquiring knowledge). Pengetahuan baru itu dapat diperoleh dengan cara deduktif. Artinya, pembelajaran dimulai dengan mempelajari secara keseluruhan kemudian memperhatikan detailnya.
  3. Pemahaman pengetahuan (understanding  knowledge)  berarti pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal, melainkan untuk dipahami dan diyakini.
  4. Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge).  Artinya,  pengetahuan  dan  pengalaman  yang diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata.
  5. Melakukan  refleksi  (reflecting  knowledge)  terhadap  strategi pengembangan pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan balik untuk proses perbaikan dan penyempurnaan strategi.
Di sisi lain, Hernowo (2005:93) menawarkan langkah-langkah praktis menggunakan  strategi  pebelajaran  Kontekstual/Contextual  Teaching Learning.
  1. Kaitkan setiap mata pelajaran dengan seorang tokoh yang sukses dalam menerapkan mata pelajaran tersebut.
  2. Kisahkan terlebih dahulu riwayat hidup sang tokoh atau temukan cara-cara sukses yang ditempuh sang tokoh dalam menerapkan ilmu yang dimilikinya.
  3. Rumuskan dan tunjukkan manfaat yang jelas dan spesifik kepada anak didik berkaitan dengan ilmu (mata pelajaran) yang diajarkan kepada mereka.
  4. Upayakan agar ilmu-ilmu yang dipelajari di sekolah dapat memotivasi anak didik untuk mengulang dan mengaitkannya dengan kehidupan keseharian mereka.
  5. Berikan kebebasan kepada setiap anak didik untuk mengkonstruksi ilmu yang diterimanya secara subjektif sehingga anak didik dapat menemukan sendiri cara belajar alamiah yang cocok dengan dirinya.
  6. Galilah kekayaan emosi yang ada pada diri setiap anak didik dan biarkan mereka mengekspresikannya dengan bebas.
  7. Bimbing  mereka  untuk  menggunakan  emosi  dalam  setiap pembelajaran sehingga anak didik penuh arti (tidak sia-sia dalam belajar di sekolah).
4. Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing (Discovery Learning)
Discovery Learning adalah proses belajar yang di dalamnya tidak disajikan suatu konsep dalam bentuk jadi (final), tetapi siswa dituntut untuk mengorganisasi sendiri cara belajarnya dalam menemukan konsep. Sebagaimana pendapat Bruner, bahwa: “Discovery Learning can be defined as the learning that takes place when the student is not presented with subject matter in the final form, but rather is required to organize it him self” (Lefancois dalam Emetembun, 1986:103). Dasar ide Bruner ialah pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan aktif dalam belajar di kelas.
 
Bruner memakai metode yang disebutnya Discovery Learning, di mana murid mengorganisasi bahan yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir (Dalyono, 1996:41). Metode Discovery Learning adalah memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan (Budiningsih, 2005:43). Discovery terjadi bila individu terlibat, terutama dalam penggunaan proses mentalnya untuk menemukan beberapa konsep dan prinsip. Discovery dilakukan melalui observasi, klasifikasi, pengukuran, prediksi, penentuan dan inferi. Proses tersebut disebut cognitive process sedangkan discovery itu sendiri adalah the mental process of assimilatig conceps and principles in the mind (Robert B. Sund dalam Malik, 2001:219).
 
Dalam  Konsep  Belajar,  sesungguhnya  metode  Discovery  Learning merupakan pembentukan kategori-kategori atau konsep-konsep, yang dapat memungkinkan terjadinya generalisasi. Sebagaimana teori Bruner tentang kategorisasi yang nampak dalam Discovery, bahwa Discovery adalah pembentukan kategori-kategori, atau lebih sering disebut sistem- sistem coding. Pembentukan kategori-kategori dan sistem-sistem coding dirumuskan demikian dalam arti relasi-relasi (similaritas & difference) yang terjadi diantara obyek-obyek dan kejadian-kejadian (events).
 
Bruner memandang bahwa suatu konsep atau kategorisasi memiliki lima unsur, dan siswa dikatakan memahami suatu konsep apabila mengetahui semua unsur dari konsep itu, meliputi: 1) Nama; 2) Contoh-contoh baik yang positif maupun yang negatif; 3) Karakteristik, baik yang pokok maupun tidak; 4) Rentangan karakteristik; 5) Kaidah (Budiningsih, 2005:43). Bruner menjelaskan bahwa pembentukan konsep merupakan dua kegiatan mengkategori yang berbeda yang menuntut proses berpikir yang  berbeda  pula.  Seluruh  kegiatan  mengkategori  meliputi mengidentifikasi dan menempatkan contoh-contoh (obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa) ke dalam kelas dengan menggunakan dasar kriteria tertentu.

Di dalam proses belajar, Bruner mementingkan partisipasi aktif dari tiap siswa, dan mengenal dengan baik adanya perbedaan kemampuan. Untuk menunjang proses belajar perlu lingkungan memfasilitasi rasa ingin tahu siswa pada tahap eksplorasi. Lingkungan ini dinamakan Discovery Learning Environment, yaitu lingkungan dimana siswa dapat melakukan eksplorasi, penemuan-penemuan baru yang belum dikenal atau pengertian yang mirip dengan yang sudah diketahui. Lingkungan seperti ini bertujuan agar siswa dalam proses belajar dapat berjalan dengan baik dan lebih kreatif.
 
Untuk memfasilitasi proses belajar yang baik dan kreatif harus berdasarkan pada manipulasi bahan pelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa. Manipulasi bahan pelajaran bertujuan untuk memfasilitasi kemampuan siswa dalam berpikir (merepresentasikan apa yang dipahami) sesuai dengan tingkat perkembangannya.
 
Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh bagaimana cara lingkungan, yaitu: enactive, iconic, dan symbolic. Tahap enaktive, seseorang melakukan aktivitas- aktivitas dalam upaya untuk memahami lingkungan sekitarnya, artinya, dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik, misalnya melalui gigitan, sentuhan, pegangan, dan sebagainya. Tahap iconic, seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komparasi). Tahap symbolic, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya.

Komunikasinya dilakukan dengan menggunakan banyak simbol. Semakin matang seseorang dalam proses berpikirnya, semakin dominan sistem simbolnya. Secara sederhana teori perkembangan dalam fase enactive, iconic dan symbolic adalah anak menjelaskan sesuatu melalui perbuatan (ia bergeser ke depan atau kebelakang di papan mainan untuk menyesuaikan beratnya dengan berat temannya bermain) ini fase enactive. Kemudian pada fase iconic ia menjelaskan keseimbangan pada gambar atau bagan dan akhirnya ia menggunakan bahasa untuk menjelaskan prinsip keseimbangan ini fase symbolic (Syaodih, 85:2001).

Dalam mengaplikasikan metode Discovery Learning guru berperan sebagai pembimbing dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara aktif, sebagaimana pendapat guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan (Sardiman, 2005:145). Kondisi seperti ini ingin merubah kegiatan belajar mengajar yang teacher oriented menjadi student oriented.
 
Hal yang menarik dalam pendapat Bruner yang menyebutkan: hendaknya guru harus memberikan kesempatan muridnya untuk menjadi seorang problem solver, seorang scientis, historin, atau ahli matematika. Dalam metode Discovery Learning bahan ajar tidak disajikan dalam bentuk akhir, siswa dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan menghimpun informasi, membandingkan,  mengkategorikan,  menganalisis,  mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan serta membuat kesimpulan-kesimpulan.

Langkah-langkah model pembelajaran penemuan terbimbing (discovery learning) adalah sebagai berikut:
  1. Merumuskan masalah yang akan diberikan kepada siswa dengan data secukupnya. Perumusaannya harus jelas dan hilangkan pernyataan yang multi tafsir
  2. Berdasarkan data yang diberikan guru, siswa menyusun, memproses, mengorganisir, dan menganlisis data tersebut. Dalam hal ini bimbingan guru dapat diberikan sejauh yang diperlukan saja bimbingan lebih mengarah kepada langkah yang hendak dituju, melalui pertanyaan- pertanyaan.
  3. Siswa menyusun prakiraan dari hasil analisis yang dilakukannya.
  4. Bila dipandang perlu, prakiraan yang telah dibuat siswa tersebut hendaknya diperiksa oleh guru. Hal ini penting dilakukan untuk meyakinkan kebenaran prakiraan siswa, sehingga akan menuju arah yang hendak dicapai.
  5. Apabila telah diperoleh kepastian tentang kebenaran prakiraan tersebut, maka verbalisasi prakiraan sebaiknya disrahkan juga kepada siswa untuk menyusunnya. Disamping itu perlu diingat pula bahwa induksi tidak menjamin 100% kebenaran prakiraan.
  6. Sesudah siswa menemukan apa yang dicari, hendaknya guru menyediakan soal latihan atau soal tambahan untuk memeriksa apakah hasil penemuan itu benar.
5. Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)
Model pembelajaran berbasis masalah adalah pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah sebagai langkah awal untuk mendapatkan pengetahuan baru. Seperti yang diungkapkan oleh Suyatno (2009 : 58) bahwa:  ”Model  pembelajaran  berdasarkan  masalah  adalah  proses pembelajaran yang titik awal pembelajaran dimulai berdasarkan masalah dalam kehidupan nyata siswa dirangsang untuk mempelajari masalah berdasarkan pengetahuan dan pengalaman telah mereka miliki sebelumnya (prior knowledge) untuk membentuk pengetahuan dan pengalaman baru”. Sedangkan menurut Arends (dalam Trianto 2007 : 68) menyatakan bahwa: ”Model pembelajaran berdasarkan masalah merupakan suatu pendekatan pembelajaran di mana siswa mengerjakan permasalahan yang autentik dengan  maksud  untuk  menyusun  pengetahuan  mereka  sendiri, mengembangkan inkuiri dan keterampilan berpikir tingkat lebih tinggi, mengembangkan kemandirian dan percaya diri”. Model pembelajaran berdasarkan masalah juga mengacu pada model pembelajaran yang lain seperti yang diungkapkan oleh diungkapkan oleh Trianto (2007 : 68) : ”Model pembelajaran berdasarkan masalah) mengacu pada Pembelajaran Proyek (Project Based Learning), Pendidikan Berdasarkan Pengalaman (Experience Based Education), Belajar Autentik (Autentic Learning), Pembelajaran Bermakna (Anchored Instruction)”.
 
Berbagai pengembang menyatakan bahwa ciri utama model pembelajaran berdasarkan masalah ini dalam Trianto (2007 : 68) adalah
a. Pengajuan pertanyaan atau masalah.
Guru memunculkan pertanyaan yang nyata di lingkungan siswa serta dapat diselidiki oleh siswa kepada masalah yang autentik ini dapat berupa cerita, penyajian fenomena tertentu, atau mendemontrasikan suatu kejadian yang mengundang munculnya permasalahan atau pertanyaan.
b. Berfokus pada keterkaitan antar disiplin.
Meskipun pembelajaran berdasarkan masalah mungkin berpusat pada mata pelajaran tertentu (IPA, matematika, ilmu-ilmu sosial) masalah yang dipilih benar-benar nyata agar dalam pemecahannya, siswa dapat meninjau dari berbagi mata pelajaran yang lain.
c. Penyelidikan autentik.
Pembelajaran berdasarkan masalah mengharuskan siswa melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah yang disajikan. Metode penyelidikan ini bergantung pada masalah yang sedang dipelajari.
d. Menghasilkan produk atau karya.
Pembelajaran  berdasarkan  masalah  menuntut  siswa  untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan. Produk itu dapat juga berupa laporan, model fisik, video maupun program komputer
e. Kolaborasi.
Pembelajaran berdasarkan masalah dicirikan oleh siswa yang bekerja sama satu dengan yang lainnya, paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok kecil. Bekerjasama untuk terlibat dan saling bertukar pendapat  dalam  melakukan  penyelidikan  sehingga  dapat menyelesaikan permasalahan yang disajikan.
 
Pada Model pembelajaran berdasarkan masalah terdapat lima tahap utama yang dimulai dengan memperkenalkan siswa tehadap masalah yang diakhiri dengan tahap penyajian dan analisis hasil kerja siswa. Kelima tahapan tersebut disajikan dalam bentuk tabel (dalam Nurhadi, 2004:111)
Sintaks Model pembelajaran berdasarkan masalah

6. Model Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning)
Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning=PjBL) adalah metoda pembelajaran yang menggunakan proyek/kegiatan sebagai media. Peserta didik melakukan eksplorasi, penilaian, interpretasi, sintesis, dan informasi untuk menghasilkan berbagai bentuk hasil belajar.

Pembelajaran Berbasis Proyek  merupakan  metode belajar yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru berdasarkan pengalamannya dalam beraktifitas secara  nyata.  Pembelajaran Berbasis  Proyek dirancang untuk  digunakan pada  permasalahan  komplek  yang diperlukan  peserta  didik  dalam  melakukan  insvestigasi  dan memahaminya.

Melalui PjBL, proses inquiry dimulai dengan memunculkan pertanyaan penuntun (a guiding question) dan membimbing peserta didik dalam sebuah proyek kolaboratif yang mengintegrasikan berbagai subjek (materi) dalam kurikulum. Pada saat pertanyaan terjawab, secara langsung peserta didik dapat melihat berbagai elemen utama sekaligus berbagai prinsip dalam sebuah disiplin yang sedang dikajinya. PjBL merupakan investigasi mendalam tentang sebuah topik dunia nyata, hal ini akan berharga bagi atensi dan usaha peserta didik.

Mengingat bahwa masing-masing peserta didik memiliki gaya belajar yang berbeda, maka Pembelajaran Berbasis Proyek memberikan kesempatan kepada para peserta didik untuk menggali konten (materi) dengan menggunakan berbagai cara yang bermakna bagi dirinya, dan melakukan eksperimen secara kolaboratif. Pembelajaran Berbasis Proyek merupakan investigasi mendalam tentang sebuah topik dunia nyata, hal ini akan berharga bagi atensi dan usaha peserta didik. 

Pembelajaran Berbasis Proyek dapat dikatakan sebagai operasionalisasi konsep “Pendidikan Berbasis Produksi” yang dikembangkan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). SMK sebagai institusi yang berfungsi untuk menyiapkan lulusan untuk bekerja di dunia usaha dan industri harus dapat membekali peserta didiknya dengan “kompetensi terstandar” yang dibutuhkan  untuk  bekerja  dibidang  masing-masing.  Dengan pembelajaran “berbasis produksi” peserta didik di SMK diperkenalkan dengan suasana dan makna kerja yang sesungguhnya di dunia kerja. Dengan demikian model pembelajaran yang cocok untuk SMK adalah pembelajaran berbasis proyek.

Pembelajaran Berbasis Proyek memiliki karakteristik sebagai berikut:
  1. peserta didik membuat keputusan tentang sebuah kerangka kerja;
  2. adanya permasalahan atau tantangan yang diajukan kepada peserta didik;
  3. peserta didik mendesain proses untuk menentukan solusi atas permasalahan atau tantangan yang diajukan;
  4. peserta didik secara kolaboratif bertanggungjawab untuk mengakses dan mengelola informasi untuk memecahkan permasalahan;
  5. proses evaluasi dijalankan secara kontinyu;
  6. peserta didik secara berkala melakukan refleksi atas aktivitas yang sudah dijalankan;
  7. produk akhir aktivitas belajar akan dievaluasi secara kualitatif; dan
  8. situasi pembelajaran sangat toleran terhadap kesalahan dan perubahan.
Peran instruktur atau guru dalam Pembelajaran Berbasis Proyek sebaiknya sebagai fasilitator, pelatih, penasehat dan perantara untuk mendapatkan hasil yang optimal sesuai dengan daya imajinasi, kreasi dan inovasi dari siswa.
Beberapa hambatan dalam implementasi metode Pembelajaran Berbasis Proyek antara lain berikut ini.
  1. Pembelajaran Berbasis Proyek memerlukan banyak waktu yang harus disediakan untuk menyelesaikan permasalahan yang komplek.
  2. Banyak orang tua peserta didik yang merasa dirugikan, karena menambah biaya untuk memasuki system baru.
  3. Banyak instruktur merasa nyaman dengan kelas tradisional ,dimana instruktur memegang peran utama di kelas. Ini merupakan suatu transisi yang sulit, terutama bagi instruktur yang kurang atau tidak menguasai teknologi.
  4. Banyaknya peralatan yang harus disediakan, sehingga kebutuhan listrik bertambah.
Untuk itu disarankan menggunakan team teaching dalam proses pembelajaran, dan akan lebih menarik lagi jika suasana ruang belajar tidak monoton, beberapa contoh perubahan lay-out ruang kelas, seperti: traditional class (teori), discussion group (pembuatan konsep dan pembagian tugas kelompok), lab tables (saat mengerjakan tugas mandiri), circle (presentasi). Buatlah suasana belajar menyenangkan, bahkan saat diskusi dapat dilakukan di taman, artinya belajar tidak harus dilakukan di dalam ruang kelas.

Sumber Rujukan :
PEDOMAN PEMBELAJARAN TEMATIK TERPADU
PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG KURIKULUM 2013 SEKOLAH DASAR/MADRASAH IBTIDAIYAH.

Penyelenggaraan Bantuan Biaya Pendidikan Bidikmisi


Pengertian
Bantuan biaya pendidikan Bidikmisi, yang selanjutnya disebut Bidikmisi adalah bantuan biaya pendidikan bagi lulusan sekolah menengah atas atau sederajat yang memiliki potensi akademik baik tetapi memiliki keterbatasan ekonomi untuk mengikuti dan/atau menyelesaikan Pendidikan Tinggi.

Bidikmisi bertujuan:
  1. meningkatkan akses dan kesempatan belajar di perguruan tinggi bagi peserta didik yang memiliki berpotensi akademik baik tetapi memiliki keterbatasan ekonomi;
  2. meningkatkan motivasi belajar dan prestasi calon mahasiswa, khususnya mereka yang memiliki keterbatasan ekonomi;
  3. menjamin keberlangsungan studi mahasiswa sampai selesai dan tepat waktu;
  4. meningkatkan prestasi mahasiswa, baik pada bidang kurikuler, kokurikuler maupun ekstra kurikuler;
  5. menimbulkan dampak bagi mahasiswa dan calon mahasiswa lain untuk meningkatkan prestasi dan kompetitif;
  6. menghasilkan lulusan yang mandiri, produktif dan memiliki kepedulian sosial, sehingga mampu berperan dalam upaya pemutusan mata rantai kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat.
Pemberian Bidikmisi ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Komponen Bidikmisi adalah :
a. bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan;
b. bantuan biaya hidup; dan
c. biaya resetlemen/biaya pengelolaan Bidikmisi.

Calon penerima Bidikmisi pada pendidikan tinggi terdiri atas:
  1. Siswa SMA/SMK/MA/MAK atau bentuk lain yang sederajat yang akan lulus pada tahun berjalan; atau
  2. Siswa SMA/SMK/MA/MAK atau bentuk lain yang sederajat yang lulus 1 (satu) tahun sebelumnya yang bukan penerima Bidikmisi.
Persyaratan penerima Bidikmisi:
  1. warga Negara Indonesia;
  2. memiliki keterbatasan ekonomi dan mempunyai potensi akademik baik yang didukung bukti dokumen yang sah;
  3. tidak sedang menerima bantuan biaya pendidikan/beasiswa lain yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara; dan
  4. lulus seleksi masuk perguruan tinggi yang diadakan oleh tim seleksi nasional atau seleksi mandiri.
Dana Bidikmisi berasal dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara.
Batas Waktu pemberian Bidikmisi:
  1. Bidikmisi diberikan sejak mahasiswa ditetapkan sebagai penerima Bidikmisi di perguruan tinggi, yaitu 8 (delapan) semester untuk program Diploma IV dan Sarjana, serta 6 (enam) semester untuk program Diploma III.
  2. Bidikmisi untuk Akademi Komunitas diberikan maksimal 4 (empat) semester untuk program Diploma II, dan 2 (dua) semester untuk program Diploma I.
  3. Bidik Misi untuk program studi yang merupakan satu kesatuan antara program Sarjana dengan program profesi difasilitasi oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi sampai lulus program profesi, yaitu:
  • Profesi Dokter maksimal 4 semester.
  • Profesi Dokter Gigi maksimal 4 semester.
  • Profesi Ners maksimal 2 semester.
  • Profesi Dokter Hewan maksimal 2 semester.
  • Profesi Apoteker maksimal 2 semester.
Bagi mahasiswa yang belum menyelesaikan pendidikan sesuai dengan tenggang waktu yang ditetapkan, Perguruan Tinggi dapat mengalokasikan biaya pendidikan yang bersumber dari dana yang sah.

Sumber Rujukan :
PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 96 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN BANTUAN BIAYA PENDIDIKAN BIDIKMISI.

Sabtu, 18 Oktober 2014

Pendekatan Pembelajaran


Pembelajaran tematik terpadu perlu memperhatikan pendekatan, strategi, model dan metode pembelajaran. Pendekatan dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran. Pendekatan yang berpusat pada pendidik menurunkan strategi pembelajaran langsung (direct instruction), pembelajaran deduktif atau pembelajaran ekspositori. Sedangkan, pendekatan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik menurunkan strategi pembelajaran discovery dan inkuiri serta strategi pembelajaran  induktif (Sanjaya, 2008:127).  Strategi  suatu  seni menggunakan kecakapan dan sumber daya untuk mencapai sasarannya melalui hubungan yang efektif dengan lingkungan dan kondisi yang paling menguntungkan. Model pembelajaran adalah rencana ( pola ) yang dapat digunakan  untuk  membentuk  kurikulum,  merancang  bahan-bahan pengajaran dan membimbing pengajaran. Sedangkan Metode merupakan jabaran dari pendekatan. Satu pendekatan dapat dijabarkan ke dalam berbagai metode. Metode adalah prosedur pembelajaran yang difokuskan ke pencapaian tujuan.

Di dalam Kurikulum 2013 Pendekatan pembelajaran menggunakan pendekatan tematik terpadu dan pendekatan saintifik. Strategi pada pembelajaran tematik terpadu adalah pembelajaran peserta didik aktif. Model pembelajaran tematik terpadu menggunakan model jaring laba-laba. Metode berupa metode proyek yang pembelajarannya dilakukan di dalam atau di luar ruang kelas yang melibatkan peserta didik untuk melakukan kegiatan yang mengintegrasikan berbagai kompetensi dan mata pelajaran. Kegiatan tersebut harus melibatkan berbagai keterampilan seperti keterampilan fisik, intelektual dan juga mata pelajaran dan kompetensinya yang mencakup sikap, pengetahuan dan keterampilan. Implementasi pembelajaran terpadu dilaksanakan dalam tahapan pembukaan, inti dan penutup. Pada kegiatan inti seluruh aktivitas pembelajaran meliputi kegiatan mengamati, menanya, pengumpulan data, mengasosiasi, dan mengomunikasikan.

Dalam kegiatan mengamati (observing) peserta didik menangkap fenomena dan/atau informasi tentang benda, manusia, alam, kegiatan, dan gagasan melalui proses pengindraan seketika dan/atau pengindraan bertujuan. Misalnya:  melihat,  mendengar,  menyimak,  meraba,  membaca, memanipulasi.

Kegiatan menanya mendorong Peserta didik mengajukan pertanyaan dari yang bersifat faktual sampai ke yang bersifat hipotesis, diawali dengan bimbingan guru sampai bersifat mandiri ( menjadi suatu kebasaan ) untuk menggali informasi dan/atau makna sesuatu melalui proses bertanya dialektis (dialectical questioning) dengan mengajukan sejumlah pertanyaan pelacak (probing question), misalnya mengajukan pertanyaan: Apa, Dimana, Siapa, Kapan, Mengapa, Bagaimana, Berapa, dan seterusnya.

Kegiatan mengasosiasi/ menalar menekankan aktivitas belajar bagi Peserta didik untuk melakukan proses pemahaman (comprehension) untuk memperoleh/ mendapatkan makna/ pengertian tentang fakta, gejala, kegiatan, gagasan, nilai dll (acquiring and integrating knowledge) melalui kegiatan: membedakan, membandingkan, menganalisis data dalam bentuk membuat kategori, menentukan hubungan data/ kategori,menyimpulkan dari hasil analisis data dll dimulai dari unstructured – unistructure – multi structure – complicated structure.

Kegiatan mengomunikasikan menekankan aktivitas belajar Peserta didik untuk menyajikan gagasan, model/produk kreatif dan memberikan penjelasan/mendemonstrasikan hasil pemecahan masalah, pengembangan, gagasan baru, kesimpulan dalam bentuk lisan, tulisan, diagram, bagan, gambar atau media lainnya di kelas/di luar kelas.

Dalam melaksanakan kegiatan dengan pendekatan saintifik tersebut, pendidik perlu menyiapkan berbagai kegiatan yang sesuai dengan karakteristik anak usia SD. Gambaran perkembangan anak usia SD untuk aspek fisik khususnya pada dimensi tinggi dan berat badan pada umumnya menurut F.A.Hadis, pertumbuhan fisik anak usia SD cenderung lebih lambat dan konsisten bila dibandingkan dengan masa usia dini. Rata-rata anak usia SD mengalami penambahan berat badan sekitar 2,5 - 3,5 kg dan penambahan tinggi badan 5 – 7 cm per tahun. Sedangkan untuk perkembangan kemampuan motorik pada umumnya:
  1. Ketangkasan anak meningkat,
  2. Dapat bermain sepeda,
  3. Sudah mengetahui kanan dan kiri,
  4. Mulai membaca dengan lancar,
  5. Peningkatan minat pada bidang spiritual.
  6. Kecepatan dan kehalusan aktivitas motorik meningkat,
  7. Mampu menggunakan peralatan rumah tangga.
Perkembangan kognitif anak usia awal antara lain:
  1. Senang menghasilkan sesuatu dan mengoreksi diri sendiri
  2. Mulai mengenal dunia yang lebih luas
  3. Sedikit berimajinasi,
  4. Rasa ingin tahu meningkat.
  5. Mampu beradaptasi dengan beberapa kondisi yang dihadapi
  6. Bermasalah dengan kondisi abstrak, angka-angka yang banyak, periode waktu dan ruang
Karakteristik yang dimiliki anak-anak usia SD pada umumnya adalah
1. Senang bergerak
Berbeda dengan orang dewasa yang betah duduk berjam-jam, anak- anak usia SD lebih senang bergerak. Anak-anak usia ini dapat duduk dengan tenang maksimal sekitar 30 menit.
2. Senang bermain
Dunia anak memang dunia bermain yang penuh kegembiraan, demikian juga dengan anak-anak usia sekolah dasar, mereka masih sangat senang bermain. Apalagi anak-anak SD kelas rendah.
3. Senang melakukan sesuatu secara langsung
Anak-anak usia SD akan lebih mudah memahami pelajaran yang diberikan guru jika ia dapat mempraktikkan sendiri secara langsung pelajaran tersebut.
4. Senang bekerja dalam kelompok
Pada usia SD, anak-anak mulai intens bersosialisi. Pergaulan dengan kelompok sebaya, akan membuat anak usia SD bisa belajar banyak hal, misalnya setia kawan, bekerja sama, dan bersaing secara sehat.
 
Berdasarkan karakteristik anak kelas awal tersebut, maka pendidik perlu menyiapkan berbagai aktivitas/ kegiatan yang cocok dan sesuai. Berbagai kegiatan yang dapat dilakukan sesuai dengan tahapan perkembangan anak kelas awal (kelas I-III ) adalah:
  1. Anak mengenali sesuatu berdasarkan apa yang didengarnya karena itu guru dapat membacakan teks atau cerita.
  2. Anak usia 7 tahun adalah pendengar yang baik, sehingga guru memberi kesempatan kepada anak untuk mendengarkan.
  3. Anak usia 8 tahun “suka bekerjasama”, guru dapat memberikan tugas untuk melakukan kegiatan berkelompok.
  4. Anak usia 9 tahun mempunyai ciri “sedikit berimajinasi” oleh karena itu dalam kegiatan mengamati, guru perlu mendorong anak untuk mampu berimajinasi.
  5. Guru memberi kesempatan dan menyiapkan kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan anak di luar ruang bersama teman dan sendiri di dalam ruang.
  6. Guru menyiapkan kegiatan yang mendorong anak untuk bergerak secara terarah untuk mengasah keterampilannya.
  7. Anak perlu diberi kesempatan mengasah keterampilan fisiknya sehingga dapat mengembangkan kemampuan motorik kasarnya misalnya melalui berbagai kegiatan berjalan, berlari, melompat, melempar dan untuk motorik halusnya dengan memberi kesempatan anak untuk menulis, menggambar, menggunting. 
  8. Guru memberi kesempatan anak untuk melakukan kegiatan sendiri secara aktif tanpa diberi contoh.
  9. Untuk anak usia 8 tahun guru dapat menyiapkan berbagai kegiatan yang mendorong anak untuk berbicara secara aktif karena mereka suka melebih-lebihkan dalam bicara.
  10. Memberi kesempatan kepada anak untuk menjadi pembicara misalnya menyampaikan hasil kegiatannya, memberi komentar terhadap sesuatu dan sebagainya.
  11. Memberi kesempatan anak untuk melakukan diskusi atau kegiatan tanya jawab berpasangan karena pada umumnya mereka juga suka berdialog atau melakukan percakapan berpasangan.
  12. Guru menyiapkan kegiatan yang mendorong anak untuk berkata-kata yang sifatnya deskriptif misalnya menceritakan pengalaman yang dialaminya.
  13. Guru perlu menyiapkan kegiatan yang mendorong anak untuk berbicara secara aktif bahkan saat bicara anak usia ini dapat melebih-lebihkan dalam bicaranya dan perkembangan kosakatanya sangat cepat.
  14. Mendorong anak untuk melaporkan hasil kerjanya secara lisan karena pada umumnya mereka adalah pembicara yang baik dam mempunyai perkembangan kosakata yang cepat.
  15. Untuk  anak  kelas  awal  guru  dapat  mendorong  anak mengkomunikasikannya dalam berbagai bentuk gambar lengkap (misal gambar manusia sudah dapat lengkap), mewarnai gambar dengan warna natural/alami menyerupai warna aslinya.
  16. Guru perlu sering memperingatkan anak usia awal untuk lebih teliti dalam mengerjakan tugas karena pada umumnya mereka bergerak cepat dan bekerja dengan tergesa-gesa, karena mereka penuh dengan energi.
  17. Guru perlu menyiapkan berbagai kegiatan yang dilakukan tidak hanya di dalam ruang tetapi juga di luar ruang karena anak usia ini perlu pelepasan energi secara fisik (kegiatan di luar ruangan).
  18. Guru perlu mengatur kegiatan yang belum memerlukan konsentrasi yang lama karena anak usia ini konsentrasinya masih terbatas.
  19. Guru perlu menyiapkan kegiatan yang menyenangkan karena pada usia ini perkembangan sosialnya masih sangat baik dan penuh dengan humor.
  20. Guru perlu menyiapkan kegiatan yang memungkinkan anak untuk bekerjasama khususnya dengan teman yang sejenis.
  21. Batasan atau aturan perlu ditata sedemikian rupa karena anak masih bermasalah dengan aturan dan batasan-batasan.
  22. Guru perlu menyiapkan berbagai kegiatan yang menghasilkan sesuatu karena pada usia ini mereka senang menghasilkan karya.
  23. Guru juga menyiapkan kegiatan-kegiatan yang berbentuk operasional konkret karena pada masa ini mereka masih bermasalah dengan kondisi abstrak.
  24. Anak usia ini bukanlah pendengar yang baik karena pada saat mendengarkan ia akan dipenuhi pula dengan gagasan sehingga terkadang tidak ingat apa yang telah dikatakannya.
  25. Mendorong anak mengungkapkan secara deskriptif, misalnya menceritakan pengalaman yang dialaminya.
  26. Menyiapkan berbagai kegiatan yang sifatnya eksplorasi misalnya mencari fakta dalam kamus, menyelidiki lingkungan, untuk dapat mengenal dunia yang lebih luas bukan hanya yang dekat dengan dirinya.
Pengelolaan Kelas
Keberhasilan pembelajaran tematik terpadu tergantung pula pada lingkungan kelas yang diciptakan yang dapat mendorong peserta didik untuk belajar dan menjadi tempat belajar yang nyaman, aman, dan menyenangkan. Penataan lingkungan kelas bisa berupa pengaturan peserta didik dan ruang kelas. Pengaturan tersebut mencakup pengaturan meja-kursi peserta didik, penataan sumber dan alat bantu belajar,  dan  penataan  pajangan  hasil  karya  peserta  didik.
Pengorganisasian atau pengaturan peserta didik dapat dilakukan dalam bentuk klasikal, kelompok dan individual. Penataan lingkungan kelas perlu memperhatikan 4 hal berikut: 
  1. Mobilitas, memudahkan peserta didik untuk bergerak dari satu pojok ke pojok lain, 
  2. Aksesibilitas, memudahkan peserta didik mengakses sumber dan alat bantu belajar, 
  3. Interaksi, memudahkan peserta didik untuk berinteraksi dengan sesama teman atau pendidiknya, dan 
  4. Variasi kegiatan, memudahkan peserta didik melakukan berbagai kegiatan yang beragam, misal berdiskusi, melakukan percobaan, dan presentasi.
Ruang kelas juga dapat dilengkapi dengan Pusat belajar (‘learning centre’). Pusat belajar ini dapat ditempatkan di pojok kelas. Pusat belajar ini dapat berisi beraneka ragam sesuai dengan kebutuhan dan dapat diubah dari waktu ke waktu. Fungsi Pusat Belajar dapat menjadi tempat bagi anak yang sudah menyelesaikan kegiatan sehingga tidak mengganggu teman lainnya. Contoh pusat belajar yang dapat disesiakan misalnya pojok dengan rak yang diisi beberapa buku.
 
Pusat belajar ini suatu saat dapat diubah menjadi pojok matematika, yang dapat digunakan  oleh  peserta  didik  untuk melakukan  berbagai  kegiatan  atau menggunakan  sebagai  media  yang berhubungan dengan matematika. Kegiatan di  tempat  ini  peserta  didik  dapat mengerjakan  tugas  atau  bereksperimen dengan matematika. Sumber atau media belajar dapat diletakkan pada rak, meja, atau kotak – kotak yang diberi label sehingga mudah ditemukan saat dibutuhkan.
 
Karya  anak  juga  dapat  dipajangkan. Pajangan diganti secara rutin sesuai dengan tema yang sedang digunakan. Contoh pada waktu pelaksanaan tema “Tumbuhan”, kelas dapat dirancang dengan nuansa taman bunga dengan menghiasi berbagai macam bunga-bunga yang digantung di jendela atau di langit- langit kelas. pajangan disusun dengan memperhatikan estetika dan berada dalam jangkauan pandang/sentuh peserta didik sehingga dapat digunakan sebagai sumber belajar oleh peserta didik.

Sumber Rujukan :
PROGRAM PEMBELAJARAN TEMATIK TERPADU
PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG KURIKULUM 2013 SEKOLAH DASAR/MADRASAH IBTIDAIYAH.