Pengajaran salah satu bagian dari Pendidikan

Pengajaran adalah pendidikan dengan cara memberi ilmu atau berfaedah buat hidup anak-anak, baik lahir maupun batin.

Pendidikan adalah tempat bersemainya benih-benih kebudayaan

Segala unsur peradaban dan kebudayaan dapat tumbuh dengan sebaik-baiknya.

Pendidikan hanya suatu tuntunan

Hidup tumbuhnya anak itu terletak di luar kecakapan atau kehendak pendidik.

Beschaving is zelfbeheersching

Adab itu berarti dapat menguasai diri.

Permainan anak adalah pendidikan

Pelajaran paca indra dan permainan anak itu tidak dipisah, yaitu dianggap satu.

Selasa, 03 Desember 2024

Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003

 

Pendidikan nasional mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.

Dengan visi pendidikan tersebut, pendidikan nasional mempunyai misi sebagai berikut:

  1. mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia;
  2. membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar;
  3. meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral;
  4. meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global; dan
  5. memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan RI.

Strategi pembangunan pendidikan nasional meliputi :

  1. pelaksanaan pendidikan agama serta akhlak mulia;
  2. pengembangan dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi;
  3. proses pembelajaran yang mendidik dan dialogis;
  4. evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi pendidikan yang memberdayakan;
  5. peningkatan keprofesionalan pendidik dan tenaga kependidikan;
  6. penyediaan sarana belajar yang mendidik;
  7. pembiayaan pendidikan yang sesuai dengan prinsip pemerataan dan berkeadilan;
  8. penyelenggaraan pendidikan yang terbuka dan merata;
  9. pelaksanaan wajib belajar;
  10. pelaksanaan otonomi manajemen pendidikan;
  11. pemberdayaan peran masyarakat;
  12. pusat pembudayaan dan pembangunan masyarakat; dan
  13. pelaksanaan pengawasan dalam sistem pendidikan nasional.

Pertimbangan Pembentukan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Pertimbangan untuk membentuk Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah sebagai berikut.

  1. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial;
  2. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang;
  3. Sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan; dan
  4. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional tidak memadai lagi dan perlu diganti serta perlu disempurnakan agar sesuai dengan amanat perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dasar, Fungsi, dan Tujuan Pendidikan Nasional

Dasar pendidikan nasional adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan

Pendidikan diselenggarakan sebagai berikut.

  1. Secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
  2. Sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna. Pendidikan dengan sistem terbuka adalah pendidikan yang diselenggarakan dengan fleksibilitas pilihan dan waktu penyelesaian program lintas satuan dan jalur pendidikan (multi entry-multi exit system). Peserta didik dapat belajar sambil bekerja, atau mengambil program-program pendidikan pada jenis dan jalur pendidikan yang berbeda secara terpadu dan berkelanjutan melalui pembelajaran tatap muka atau jarak jauh. Pendidikan multimakna adalah proses pendidikan yang diselenggarakan dengan berorientasi pada pembudayaan, pemberdayaan, pembentukan watak dan kepribadian, serta berbagai kecakapan hidup.
  3. Sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
  4. Dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
  5. Dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.
  6. Dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. Memberdayakan semua komponen masyarakat berarti pendidikan diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat dalam suasana kemitraan dan kerja sama yang saling melengkapi dan memperkuat.

Hak dan Kewajiban Warga Negara, Orang Tua, Masyarakat, dan Pemerintah

Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan warga negara berhak untuk:

  1. Memperoleh pendidikan khusus bagi yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial.
  2. Memperoleh pendidikan layanan khusus bagi di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil.
  3. Memperoleh pendidikan khusus bagi yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
  4. Mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.

Kewajiban warga negara adalah sebagai berikut.

  1. Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.
  2. Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan.

Hak orang tua dalam pendidikan adalah:

  1. Orang tua berhak berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi tentang perkembangan pendidikan anaknya.
  2. Orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya.

Hak masyarakat adalah berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Sedangkan kewajibannya adalah memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan.

Pemerintah dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan, pemerintah dan pemerintah daerah memiliki kewajiban sebagai berikut.

  1. memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
  2. menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.

Peserta Didik

Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak:

  1. mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. Pendidik dan/atau guru agama yang seagama dengan peserta didik difasilitasi dan/atau disediakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kebutuhan satuan pendidikan;
  2. mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya. Pendidik dan/atau guru yang mampu mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan peserta didik difasilitasi dan/atau disediakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kebutuhan satuan pendidikan;
  3. mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya;
  4. mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya;
  5. pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara;
  6. menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan.

Setiap peserta didik berkewajiban:

  1. menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan pendidikan;
  2. ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Warga negara asing dapat menjadi peserta didik pada satuan pendidikan yang diselenggarakan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Jalur, Jenjang, dan Jenis Pendidikan

Jalur pendidikan terdiri atas:

  1. pendidikan formal; 
  2. pendidikan nonformal; dan
  3. pendidikan informal.

Jenjang pendidikan formal terdiri atas:

  1. pendidikan dasar;
  2. pendidikan menengah; dan
  3. pendidikan tinggi.

Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus dengan arti sebagai berikut.

  1. Pendidikan umum merupakan pendidikan dasar dan menengah yang mengutamakan perluasan pengetahuan yang diperlukan oleh peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
  2. Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu.
  3. Pendidikan akademik merupakan pendidikan tinggi program sarjana dan pascasarjana yang diarahkan terutama pada penguasaan disiplin ilmu pengetahuan tertentu.
  4. Pendidikan profesi merupakan pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus.
  5. Pendidikan vokasi merupakan pendidikan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu maksimal setara dengan program sarjana.
  6. Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan dasar, menengah, dan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
  7. Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah.

Jalur, jenjang, dan jenis pendidikan dapat diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.

Pendidikan Dasar

Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk sebagai berikut.

  1. sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta 
  2. sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat. 
  3. Pendidikan yang sederajat dengan SD/MI adalah program seperti Paket A dan yang sederajat dengan SMP/MTs adalah program seperti Paket B.

Pendidikan Menengah

Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar. Pendidikan menengah terdiri atas:  pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan.

Pendidikan menengah berbentuk sebagai berikut.
  1. sekolah menengah atas (SMA); 
  2. madrasah aliyah (MA);
  3. sekolah menengah kejuruan (SMK); 
  4. madrasah aliyah kejuruan (MAK); atau
  5. bentuk lain yang sederajat. Pendidikan yang sederajat dengan SMA/MA adalah program seperti Paket C.

Pendidikan Tinggi

Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh pendidikan tinggi dan diselenggarakan dengan sistem terbuka.

Perguruan tinggi dapat berbentuk sebagai berikut.

  1. Akademi menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam satu cabang atau sebagian cabang ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni tertentu; 
  2. Politeknik menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam sejumlah bidang pengetahuan khusus;
  3. Sekolah tinggi menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau vokasi dalam lingkup satu disiplin ilmu tertentu dan jika memenuhi syarat dapat menyelenggarakan pendidikan profesi;
  4. Institut menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau pendidikan vokasi dalam sekelompok disiplin ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni dan jika memenuhi syarat dapat menyelenggarakan pendidikan profesi; atau 
  5. Universitas menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau pendidikan vokasi dalam sejumlah ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni dan jika memenuhi syarat dapat menyelenggarakan pendidikan profesi.

Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, serta dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau vokasi.

Gelar akademik, profesi, atau vokasi oleh perguruan tinggi dengan ketentuan sebagai berikut.

  1. Perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan pendirian dan dinyatakan berhak menyelenggarakan program pendidikan tertentu dapat memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi sesuai dengan program pendidikan yang diselenggarakannya.
  2. Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang bukan perguruan tinggi dilarang memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi.
  3. Gelar akademik, profesi, atau vokasi hanya digunakan oleh lulusan dari perguruan tinggi yang dinyatakan berhak memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi.
  4. Penggunaan gelar akademik, profesi, atau vokasi lulusan perguruan tinggi hanya dibenarkan dalam bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan.
  5. Penyelenggara pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan pendirian atau penyelenggara pendidikan bukan perguruan tinggi dikenakan sanksi administratif berupa penutupan penyelenggaraan pendidikan.
  6. Gelar akademik, profesi, atau vokasi yang dikeluarkan oleh penyelenggara pendidikan yang tidak sesuai dengan ketentuan atau penyelenggara pendidikan yang bukan perguruan tinggi dinyatakan tidak sah.

Universitas, institut, dan sekolah tinggi yang memiliki program doktor berhak memberikan gelar doktor kehormatan (doktor honoris causa) kepada setiap individu yang layak memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan, keagamaan, kebudayaan, atau seni.

Tentang guru besar, pada universitas, institut, dan sekolah tinggi dapat diangkat guru besar atau profesor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan sebutan guru besar atau profesor hanya dipergunakan selama yang bersangkutan masih aktif bekerja sebagai pendidik di perguruan tinggi.

Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagai berikut.

  1. Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan.
  2. Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat.
  3. Perguruan tinggi dapat memperoleh sumber dana dari masyarakat yang pengelolaannya dilakukan berdasarkan prinsip akuntabilitas publik.

Ketentuan mengenai persyaratan kelulusan dan pencabutan gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagai berikut.

  1. Perguruan tinggi menetapkan persyaratan kelulusan untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi.
  2. Lulusan perguruan tinggi yang karya ilmiahnya digunakan untuk memperoleh gelar akademik, profesi, atau vokasi terbukti merupakan jiplakan dicabut gelarnya.

Pendidikan Nonformal

Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.

Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.

Pendidikan nonformal meliputi:

  1. pendidikan kecakapan hidup. Pendidikan kecakapan hidup (life skills) adalah pendidikan yang memberikan kecakapan personal, kecakapan sosial, kecakapan intelektual, dan kecakapan vokasional untuk bekerja atau usaha mandiri;
  2. pendidikan anak usia dini;
  3. pendidikan kepemudaan. Pendidikan kepemudaan adalah pendidikan yang diselenggarakan untuk mempersiapkan kader pemimpin bangsa, seperti organisasi pemuda, pendidikan kepanduan/kepramukaan, keolahragaan, palang merah, pelatihan, kepemimpinan, pecinta alam, serta kewirausahaan;
  4. pendidikan pemberdayaan perempuan. Pendidikan pemberdayaan perempuan adalah pendidikan untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan;
  5. pendidikan keaksaraan;
  6. pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja. Pendidikan dan pelatihan kerja dilaksanakan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik dengan penekanan pada penguasaan keterampilan fungsional yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja;
  7. pendidikan kesetaraan. Pendidikan kesetaraan adalah program pendidikan nonformal yang menyelenggarakan pendidikan umum setara SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA yang mencakup program paket A, paket B, dan paket C; dan
  8. pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.

Satuan pendidikan nonformal terdiri atas:

  1. lembaga kursus;
  2. lembaga pelatihan;
  3. kelompok belajar;
  4. pusat kegiatan belajar masyarakat; dan
  5. majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.

Kursus dan pelatihan sebagai bentuk pendidikan berkelanjutan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dengan penekanan pada penguasaan keterampilan, standar kompetensi, pengembangan sikap kewirausahaan serta pengembangan kepribadian profesional. Kursus dan pelatihan dikembangkan melalui sertifikasi dan akreditasi yang bertaraf nasional dan internasional.

Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.

Pendidikan Informal

Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Hasil pendidikan diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.

Pendidikan Anak Usia Dini

Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar dan bagi anak sejak lahir sampai dengan enam tahun serta bukan merupakan prasyarat untuk mengikuti pendidikan dasar.  Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal.

Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk:

  1. taman kanak-kanak (TK). Taman kanak-kanak (TK) menyelenggarakan pendidikan untuk mengembangkan kepribadian dan potensi diri sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik;
  2. raudatul athfal (RA). Raudhatul athfal (RA) menyelenggarakan pendidikan keagamaan Islam yang menanamkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi diri seperti pada taman kanak-kanak; dan
  3. atau bentuk lain yang sederajat.

Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk:

  1. kelompok bermain (KB);
  2. taman penitipan anak (TPA); dan
  3. atau bentuk lain yang sederajat.

Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.

Pendidikan Kedinasan

Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen. Pendidikan kedinasan berfungsi meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai dan calon pegawai negeri suatu departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen yang diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal dan nonformal.

Pendidikan Keagamaan

Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama yang diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.

Pendidikan keagamaan berbentuk:

  1. pendidikan diniyah;
  2. pesantren;
  3. pasraman;
  4. pabhaja samanera; dan 
  5. bentuk lain yang sejenis.

Pendidikan Jarak Jauh

Pendidikan jarak jauh diselenggarakan pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Pendidikan jarak jauh berfungsi memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler yang diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standar nasional pendidikan. 

Bentuk pendidikan jarak jauh mencakup program pendidikan tertulis (korespondensi), radio, audio/video, TV, dan/atau berbasis jaringan komputer. Modus penyelenggaraan pendidikan jarak jauh mencakup pengorganisasian tunggal (single mode), atau bersama tatap muka (dual mode). Cakupan pendidikan jarak jauh dapat berupa program pendidikan berbasis mata pelajaran/mata kuliah dan/atau program pendidikan berbasis bidang studi.

Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus

Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

Selain itu, pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.

Bahasa Pengantar

Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara menjadi bahasa pengantar dalam pendidikan nasional. Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan apabila diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu. Sedangkan, bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada satuan pendidikan tertentu untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik.

Pengajaran bahasa daerah pada jenjang pendidikan dasar di suatu daerah disesuaikan dengan intensitas penggunaannya dalam wilayah yang bersangkutan. Dan tahap awal pendidikan adalah pendidikan pada tahun pertama dan kedua sekolah dasar.

Wajib Belajar

Setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar. Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

Standar Nasional Pendidikan

Standar nasional pendidikan terdiri atas:

  1. standar isi. Mencakup ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan ke dalam persyaratan tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu;
  2. proses;
  3. kompetensi lulusan. Kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah disepakati;
  4. tenaga kependidikan. Mencakup persyaratan pendidikan prajabatan dan kelayakan, baik fisik maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan;
  5. sarana dan prasarana. Mencakup ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, dan sumber belajar lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi;
  6. pengelolaan;
  7. pembiayaan; dan
  8. penilaian pendidikan 

yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. Peningkatan secara berencana dan berkala dimaksudkan untuk meningkatkan keunggulan lokal, kepentingan nasional, keadilan, dan kompetisi antarbangsa dalam peradaban dunia.

Standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan. Pengembangan standar nasional pendidikan serta pemantauan dan pelaporan pencapaiannya secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan.

Kurikulum

Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. Pengembangan kurikulum secara berdiversifikasi dimaksudkan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan pada satuan pendidikan dengan kondisi dan kekhasan potensi yang ada di daerah.

Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:

  1. peningkatan iman dan takwa;
  2. peningkatan akhlak mulia;
  3. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
  4. keragaman potensi daerah dan lingkungan;
  5. tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
  6. tuntutan dunia kerja;
  7. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
  8. agama;
  9. dinamika perkembangan global; dan
  10. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.

Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:

  1. pendidikan agama, ,membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia;
  2. pendidikan kewarganegaraan, membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air;
  3. bahasa, mencakup bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing dengan pertimbangan: (1) Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional; (2) Bahasa daerah merupakan bahasa ibu peserta didik; dan (3) Bahasa asing terutama bahasa Inggris merupakan bahasa internasional yang sangat penting kegunaannya dalam pergaulan global;
  4. matematika, antara lain: berhitung, ilmu ukur, dan aljabar dimaksudkan untuk mengembangkan logika dan kemampuan berpikir peserta didik;
  5. ilmu pengetahuan alam, antara lain, fisika, biologi, dan kimia dimaksudkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan analisis peserta didik terhadap lingkungan alam dan sekitarnya;
  6. ilmu pengetahuan sosial, antara lain, ilmu bumi, sejarah, ekonomi, kesehatan, dan sebagainya dimaksudkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan analisis peserta didik terhadap kondisi sosial masyarakat;
  7. seni dan budaya, membentuk karakter peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa seni dan pemahaman budaya. Bahan kajian seni mencakup menulis, menggambar/melukis, menyanyi, dan menari;
  8. pendidikan jasmani dan olahraga, membentuk karakter peserta didik agar sehat jasmani dan rohani, dan menumbuhkan rasa sportivitas;
  9. keterampilan/kejuruan, membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki keterampilan; dan
  10. muatan lokal, membentuk pemahaman terhadap potensi di daerah tempat tinggalnya.

Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat:

  1. pendidikan agama;
  2. pendidikan kewarganegaraan; dan
  3. bahasa.

Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh Pemerintah dan dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor departemen agama kabupaten/kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah.

Kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi. Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi.

Pendidik dan Tenaga Kependidikan

Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Sedangkan, tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan. Tenaga kependidikan meliputi pengelola satuan pendidikan, penilik, pamong belajar, pengawas, peneliti, pengembang, pustakawan, laboran, dan teknisi sumber belajar.

Pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh:

  1. penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai. Penghasilan yang pantas dan memadai adalah penghasilan yang mencerminkan martabat guru sebagai pendidik yang profesional di atas kebutuhan hidup minimum (KHM) dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai, antara lain, jaminan kesehatan dan jaminan hari tua;
  2. penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;
  3. pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas;
  4. perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan intelektual; dan
  5. kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas.

Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban:

  1. menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis;
  2. mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan; dan
  3. memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.

Pendidik dan tenaga kependidikan dapat bekerja secara lintas daerah. Pengangkatan, penempatan, dan penyebaran pendidik dan tenaga kependidikan diatur oleh lembaga yang mengangkatnya berdasarkan kebutuhan satuan pendidikan formal. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu. Pemberian fasilitas oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dimaksudkan untuk menghindari adanya daerah yang kekurangan atau kelebihan pendidik dan tenaga kependidikan, serta juga dimaksudkan untuk peningkatan kualitas satuan pendidikan.

Ketentuan kualifikasi pendidik sebagai berikut.

  1. Pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Program sertifikasi bertujuan untuk memenuhi kualifikasi minimum pendidik yang merupakan bagian dari program pengembangan karier oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
  2. Pendidik untuk pendidikan formal pada jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi dihasilkan oleh perguruan tinggi yang terakreditasi.

Ketentuan mengenai promosi, penghargaan, dan sertifikasi pendidik sebagai berikut.

  1. Promosi dan penghargaan bagi pendidik dan tenaga kependidikan dilakukan berdasarkan latar belakang pendidikan, pengalaman, kemampuan, dan prestasi kerja dalam bidang pendidikan.
  2. Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi.
Tentang pembinaan pendidik dengan ketentuan sebagai berikut.

  1. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah.
  2. Penyelenggara pendidikan oleh masyarakat berkewajiban membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakannya.
  3. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membantu pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan formal yang diselenggarakan oleh masyarakat.

Sarana dan Prasarana Pendidikan

Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik.

Pendanaan Pendidikan

Ketentuan mengenai tanggung jawab pendanaan pendidikan sebagai berikut.

  1. Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
  2. Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Ketentuan mengenai sumber pendanaan pendidikan sebagai berikut.

  1. Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan. Sumber pendanaan pendidikan dari pemerintah meliputi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan sumber pendanaan pendidikan dari masyarakat mencakup antara lain sumbangan pendidikan, hibah, wakaf, zakat, pembayaran nadzar, pinjaman, sumbangan perusahaan, keringanan dan penghapusan pajak untuk pendidikan, dan lain-lain penerimaan yang sah.
  2. Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip sebagai berikut.
  1. keadilan;
  2. efisiensi;
  3. transparansi; dan 
  4. akuntabilitas publik.

Ketentuan mengenai pengalokasian dana pendidikan sebagai berikut.

  1. Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
  2. Gaji guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
  3. Dana pendidikan dari Pemerintah dan pemerintah daerah untuk satuan pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  4. Dana pendidikan dari Pemerintah kepada pemerintah daerah diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pengelolaan Pendidikan

Pengelolaan sistem pendidikan nasional merupakan tanggung jawab menteri. Ketentuan mengenai pengelolaan pendidikan sebagai berikut.

  1. Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional.
  2. Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.
  3. Pemerintah daerah provinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah.
  4. Pemerintah kabupaten/kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.
  5. Perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya. Otonomi perguruan tinggi adalah kemandirian perguruan tinggi untuk mengelola sendiri lembaganya.
  6. Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah. Manajemen berbasis sekolah/madrasah adalah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan, yang dalam hal ini kepala sekolah/madrasah dan guru dibantu oleh komite sekolah/madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan.
  7. Pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan. 

Pengelolaan satuan pendidikan nonformal dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.

Ketentuan tentang badan hukum pendidikan sebagai berikut.

  1. Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Badan hukum pendidikan dimaksudkan sebagai landasan hukum bagi penyelenggara dan/atau satuan pendidikan, antara lain, berbentuk badan hukum milik negara (BHMN).
  2. Badan hukum pendidikan berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik.
  3. Badan hukum pendidikan berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan.

Peran Serta Masyarakat dalam Pendidikan

Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.

Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagai berikut.

  1. Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.
  2. Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan.
  3. Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  4. Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah

Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah. Dewan pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis.

Sedangkan, komite sekolah/madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.

Evaluasi, Akreditasi, dan Sertifikasi

Evaluasi

Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Dan evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan.

Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Sedangkan, evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.

Ketentuan mengenai evaluasi sebagai berikut.

  1. Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
  2. Masyarakat dan/atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga yang mandiri untuk melakukan evaluasi.

Akreditasi

Ketentuan mengenai akreditasi sebagai berikut.

  1. Akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan nonformal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.
  2. Akreditasi terhadap program dan satuan pendidikan dilakukan oleh Pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik.
  3. Akreditasi dilakukan atas dasar kriteria yang bersifat terbuka.

Sertifikasi

Ketentuan mengenai sertifikasi sebagai berikut.

  1. Sertifikat berbentuk ijazah dan sertifikat kompetensi.
  2. Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.
  3. Sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi.

Pendirian Satuan Pendidikan

Ketentuan mengenai pendirian satuan pendidikan sebagai berikut.

  1. Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal yang didirikan wajib memperoleh izin Pemerintah atau pemerintah daerah.
  2. Syarat-syarat untuk memperoleh izin meliputi isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan proses pendidikan.
  3. Pemerintah atau pemerintah daerah memberi atau mencabut izin pendirian satuan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Satuan pendidikan yang didirikan dan diselenggarakan oleh Perwakilan Republik ndonesia di negara lain menggunakan ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Penyelenggaraan Pendidikan oleh Lembaga Negara Lain

Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh perwakilan negara asing di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, bagi peserta didik warga negara asing, dapat menggunakan ketentuan yang berlaku di negara yang bersangkutan atas persetujuan Pemerintah Republik Indonesia.

Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan asing sebagai berikut.

  1. Lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat menyelenggarakan pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud antara lain mencakup undang-undang tentang imigrasi, pajak, investasi asing, dan tenaga kerja.
  2. Lembaga pendidikan asing pada tingkat pendidikan dasar dan menengah wajib memberikan pendidikan agama dan kewarganegaraan bagi peserta didik warga negara Indonesia.
  3. Penyelenggaraan pendidikan asing wajib bekerja sama dengan lembaga pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan mengikutsertakan tenaga pendidik dan pengelola warga negara Indonesia.
  4. Kegiatan pendidikan yang menggunakan sistem pendidikan negara lain yang diselenggarakan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sistem pendidikan negara lain mencakup kurikulum, sistem penilaian, dan penjenjangan pendidikan.

Pengawasan

Pemerintah, pemerintah daerah, dewan pendidikan, dan komite sekolah/madrasah melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang dan jenis pendidikan sesuai dengan kewenangan masing-masing dan dilakukan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik.

Definisi

Akreditasi adalah kegiatan penilaian kelayakan program dalam satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.

Dewan pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang peduli pendidikan.

Evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan.

Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan.

Jenis pendidikan adalah kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan.

Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan.

Komite sekolah/madrasah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan.

Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

Masyarakat adalah kelompok warga negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.

Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan nasional.

Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.

Pemerintah daerah adalah pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, atau pemerintah kota.

Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.

Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.

Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat.

Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.

Pendidikan jarak jauh adalah pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari pendidik dan pembelajarannya menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi komunikasi, informasi, dan media lain.

Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.

Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. 

Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.

Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.

Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sumber daya pendidikan adalah segala sesuatu yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan yang meliputi tenaga kependidikan, masyarakat, dana, sarana, dan prasarana.

Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan.

Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah.

Warga negara adalah warga negara Indonesia baik yang tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia maupun di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Sumber Rujukan:

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Minggu, 01 Desember 2024

Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan Perubahan Tahun 2023

Pertimbangan Penetapan Permendikbud Ristek RI Nomor 46 Tahun 2023

Pertimbangan yang mendasari penetapan Permendikbud Ristek ini sebagai berikut.

  1. peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan dan warga satuan pendidikan lainnya berhak mendapatkan pelindungan dari kekerasan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan;
  2. untuk melaksanakan pelindungan dari kekerasan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan dilakukan pencegahan dan penanganan kekerasan yang mempertimbangkan hak peserta didik dalam memperoleh lingkungan satuan pendidikan yang ramah, aman, nyaman, dan menyenangkan bagi peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, dan warga satuan pendidikan lainnya; dan
  3. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hukum, sehingga perlu diganti.

Maksud dan Tujuan

Upaya Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan dimaksudkan untuk:

  1. melindungi Peserta Didik, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Satuan Pendidikan Lainnya dari Kekerasan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan;
  2. mencegah Peserta Didik, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Satuan Pendidikan Lainnya, melakukan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan;
  3. melindungi dan mencegah setiap orang dari Kekerasan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan; 
  4. mengatur mekanisme Pencegahan, Penanganan, dan sanksi terhadap tindakan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan; dan
  5. membangun lingkungan satuan pendidikan yang ramah, aman, inklusif, setara, dan bebas dari tindakan diskriminasi dan intoleransi.

Upaya Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan bertujuan agar:

  1. Peserta Didik, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Satuan Pendidikan Lainnya mampu mencegah terjadinya Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan;
  2. Peserta Didik, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Satuan Pendidikan Lainnya mampu untuk melaporkan Kekerasan yang dialami dan/atau diketahuinya;
  3. Peserta Didik, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Satuan Pendidikan Lainnya mampu mencari dan mendapatkan bantuan ketika mengalami Kekerasan;
  4. Peserta Didik, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Satuan Pendidikan Lainnya yang mengalami Kekerasan bisa segera mendapatkan penanganan dan bantuan yang menyeluruh;
  5. satuan pendidikan, pemerintah daerah, dan Kementerian mampu merespons dan menangani Kekerasan yang terjadi di satuan pendidikan sesuai dengan tugas dan kewenangannya; dan
  6. satuan pendidikan, pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan, dan Kementerian mampu mencegah terjadinya Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan.

Prinsip

Upaya Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan dilaksanakan dengan prinsip:
  1. nondiskriminasi;
  2. kepentingan terbaik bagi anak;
  3. partisipasi anak;
  4. keadilan dan kesetaraan gender;
  5. kesetaraan hak dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas;
  6. akuntabilitas;
  7. kehati-hatian; dan
  8. keberlanjutan pendidikan.

Sasaran

Sasaran dalam upaya Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan meliputi:
  1. Peserta Didik;
  2. Pendidik;
  3. Tenaga Kependidikan;
  4. orang tua/wali;
  5. Komite Sekolah; dan
  6. Masyarakat.
Satuan pendidikan meliputi:
  1. satuan pendidikan anak usia dini;
  2. satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar;
  3. satuan pendidikan pada jenjang pendidikan menengah,

pada jalur pendidikan formal dan nonformal.

Cakupan

Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan mencakup:

  1. Kekerasan yang dilakukan oleh Peserta Didik, Pendidik, Tenaga Kependidikan, anggota Komite Sekolah, dan Warga Satuan Pendidikan Lainnya atau terhadap Peserta Didik, Pendidik, Tenaga Kependidikan, anggota Komite Sekolah, dan Warga Satuan Pendidikan Lainnya di dalam lokasi satuan pendidikan;
  2. Kekerasan dalam kegiatan satuan pendidikan yang dilakukan oleh Peserta Didik, Pendidik, Tenaga Kependidikan, anggota Komite Sekolah, dan Warga Satuan Pendidikan Lainnya di luar lokasi satuan pendidikan atau terhadap Peserta Didik, Pendidik, Tenaga Kependidikan, anggota Komite Sekolah, dan Warga Satuan Pendidikan Lainnya di luar lokasi satuan pendidikan; dan
  3. Kekerasan yang melibatkan lebih dari 1 (satu) satuan pendidikan.

Bentuk Kekerasan

Bentuk Kekerasan terdiri atas:
  1. Kekerasan fisik;
  2. Kekerasan psikis;
  3. perundungan;
  4. Kekerasan seksual;
  5. diskriminasi dan intoleransi;
  6. kebijakan yang mengandung Kekerasan; dan
  7. bentuk Kekerasan lainnya.

Bentuk Kekerasan di atas dapat dilakukan secara fisik, verbal, non verbal, dan/atau melalui media teknologi informasi dan komunikasi.

Kekerasan Fisik

Kekerasan fisik dilakukan oleh pelaku kepada Korban dengan kontak fisik oleh pelaku kepada Korban dengan atau tanpa menggunakan alat bantu. Kekerasan fisik tersebut dapat berupa:

  1. tawuran atau perkelahian massal;
  2. penganiayaan;
  3. perkelahian;
  4. eksploitasi ekonomi melalui kerja paksa untuk memberikan keuntungan ekonomi bagi pelaku;
  5. pembunuhan; dan/atau
  6. perbuatan lain yang dinyatakan sebagai Kekerasan fisik dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kekerasan psikis

Kekerasan psikis adalah setiap perbuatan non fisik yang dilakukan bertujuan untuk merendahkan, menghina, menakuti, atau membuat perasaan tidak nyaman.

Kekerasan psikis tersebut dapat berupa:

  1. pengucilan;
  2. penolakan;
  3. pengabaian;
  4. penghinaan;
  5. penyebaran rumor;
  6. panggilan yang mengejek;
  7. intimidasi;
  8. teror;
  9. perbuatan mempermalukan di depan umum;
  10. pemerasan; dan/atau
  11. perbuatan lain yang sejenis.

Perundungan

Perundungan merupakan Kekerasan fisik dan/atau Kekerasan psikis yang dilakukan secara berulang karena ketimpangan relasi kuasa.

Kekerasan seksual

Kekerasan seksual merupakan setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan dan/atau pekerjaan dengan aman dan optimal.

Kekerasan seksual tersebut berupa:

  1. penyampaian ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender Korban;
  2. perbuatan memperlihatkan alat kelamin dengan sengaja;
  3. penyampaian ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada Korban; 
  4. perbuatan menatap Korban dengan nuansa seksual dan/atau membuat Korban merasa tidak nyaman;
  5. pengiriman pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada Korban;
  6. perbuatan mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual;
  7. perbuatan mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual;
  8. penyebaran informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual;
  9. perbuatan mengintip atau dengan sengaja melihat Korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi;
  10. perbuatan membujuk, menjanjikan, atau menawarkan sesuatu Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual;
  11. pemberian hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual;
  12. perbuatan menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium, dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban;
  13. perbuatan membuka pakaian Korban;
  14. pemaksaan terhadap Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual;
  15. praktik budaya komunitas Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan yang bernuansa Kekerasan Seksual;
  16. percobaan perkosaan walaupun penetrasi tidak terjadi;
  17. perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin;
  18. pemaksaan atau perbuatan memperdayai Korban untuk melakukan aborsi;
  19. pemaksaan atau perbuatan memperdayai Korban untuk hamil;
  20. pembiaran terjadinya Kekerasan seksual dengan sengaja;
  21. pemaksaan sterilisasi;
  22. penyiksaan seksual;
  23. eksploitasi seksual;
  24. perbudakan seksual;
  25. tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual; dan/atau
  26. perbuatan lain yang dinyatakan sebagai Kekerasan seksual dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam hal Korban merupakan Peserta Didik berusia anak atau penyandang disabilitas, Kekerasan seksual tersebut di atas dilakukan dengan persetujuan atau tanpa persetujuan Korban. 

Dalam hal Korban sebagai Pendidik, Tenaga Kependidikan, atau orang dewasa lainnya, perbuatan di bawah ini:

  1. perbuatan memperlihatkan alat kelamin dengan sengaja;
  2. pengiriman pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada Korban;
  3. perbuatan mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual;
  4. perbuatan mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual;
  5. penyebaran informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual;
  6. perbuatan membujuk, menjanjikan, atau menawarkan sesuatu Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual;
  7. perbuatan menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium, dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban; dan
  8. perbuatan membuka pakaian Korban.

merupakan Kekerasan seksual jika dilakukan tanpa persetujuan Korban.

Tanpa persetujuan Korban, tidak berlaku bagi Korban sebagai Pendidik, Tenaga Kependidikan, atau orang dewasa lainnya yang dalam kondisi:

  1. mengalami situasi dimana pelaku mengancam, memaksa, dan/atau menyalahgunakan kedudukannya;
  2. mengalami kondisi di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol, dan/atau narkoba;
  3. mengalami sakit, tidak sadar, tidak berdaya, atau tertidur;
  4. memiliki kondisi fisik dan/atau psikologis yang rentan;
  5. mengalami kelumpuhan atau hambatan motorik sementara (tonic immobility); dan/atau
  6. mengalami kondisi terguncang.

Diskriminasi dan intoleransi

Diskriminasi dan intoleransi merupakan setiap perbuatan Kekerasan dalam bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan suku/etnis, agama, kepercayaan, ras, warna kulit, usia, status sosial ekonomi, kebangsaaan, jenis kelamin, dan/atau kemampuan intelektual, mental, sensorik, serta fisik.

Bentuk tindakan diskriminasi dan intoleransi dapat berupa:

  • larangan untuk:

  1. menggunakan seragam/pakaian kerja bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan mengenai pengaturan seragam sekolah maupun seragam Pendidik dan Tenaga Kependidikan;
  2. mengikuti mata pelajaran agama/kepercayaan yang diajar oleh Pendidik sesuai dengan agama/kepercayaan Peserta Didik yang diakui oleh Pemerintah; dan/atau
  3. mengamalkan ajaran agama atau kepercayaan yang sesuai keyakinan agama atau kepercayaan yang dianut oleh Peserta Didik, Pendidik, atau Tenaga Kependidikan;

  • pemaksaan untuk:

  1. menggunakan seragam/pakaian kerja bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengaturan seragam sekolah;
  2. mengikuti mata pelajaran agama/kepercayaan yang diajar oleh Pendidik yang tidak sesuai dengan agama/kepercayaan Peserta Didik yang diakui oleh Pemerintah; dan/atau
  3. mengamalkan ajaran agama atau kepercayaan yang tidak sesuai keyakinan agama atau kepercayaan yang dianut oleh Peserta Didik, Pendidik, atau Tenaga Kependidikan;

  • mengistimewakan calon pemimpin/pengurus organisasi berdasarkan latar belakang identitas tertentu di satuan pendidikan;

  • larangan atau pemaksaan kepada Peserta Didik, Pendidik, atau Tenaga Kependidikan untuk:

  1. mengikuti atau tidak mengikuti perayaan hari besar keagamaan yang dilaksanakan di satuan pendidikan yang berbeda dengan agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan yang diyakininya; dan
  2. memberikan donasi/bantuan dengan alasan latar belakang suku/etnis, agama, kepercayaan, ras, warna kulit, usia, status sosial ekonomi, kebangsaaan, jenis kelamin, dan/atau kemampuan intelektual, mental, sensorik, serta fisik;

  • perbuatan mengurangi, menghalangi, atau tidak memberikan hak atau kebutuhan Peserta Didik, untuk:

  1. mengikuti proses penerimaan Peserta Didik;
  2. menggunakan sarana dan prasarana belajar dan/atau akomodasi yang layak;
  3. menerima bantuan pendidikan atau beasiswa yang menjadi hak Peserta Didik;
  4. memiliki kesempatan dalam mengikuti kompetisi;
  5. memiliki kesempatan untuk mengikuti pelatihan atau melanjutkan pendidikan pada jenjang berikutnya;
  6. memperoleh hasil penilaian pembelajaran;
  7. naik kelas;
  8. lulus dari satuan pendidikan;
  9. mengikuti bimbingan dan konsultasi;
  10. memperoleh dokumen pendidikan yang menjadi hak Peserta Didik;
  11. memperoleh bentuk layanan pendidikan lainnya yang menjadi hak Peserta Didik;
  12. menunjukkan/menampilkan ekspresi terhadap seni dan budaya yang diminati; dan/atau
  13. mengembangkan bakat dan minat Peserta Didik sesuai dengan sumber daya atau kemampuan yang dimiliki oleh satuan pendidikan;
  • perbuatan mengurangi, menghalangi, atau membedakan hak dan/atau kewajiban Pendidik atau Tenaga Kependidikan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau
  • perbuatan diskriminasi dan intoleransi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pemaksaan atas perbuatan di atas, termasuk perbuatan meminta atau mengimbau karena ada ketimpangan relasi kuasa, superioritas, atau senioritas.

Kebijakan yang mengandung Kekerasan

Kebijakan yang mengandung Kekerasan merupakan kebijakan yang berpotensi atau menimbulkan terjadinya Kekerasan yang dilakukan oleh Pendidik, Tenaga Kependidikan, anggota Komite Sekolah, kepala satuan pendidikan, dan/atau kepala Dinas Pendidikan, meliputi kebijakan tertulis maupun tidak tertulis.

  1. Kebijakan tertulis meliputi surat keputusan, surat edaran, nota dinas, pedoman, dan/atau bentuk kebijakan tertulis lainnya.
  2. Kebijakan tidak tertulis dapat berupa himbauan, instruksi, dan/atau bentuk tindakan lainnya.

Pencegahan dan Penanganan Kekerasan

Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan meliputi:

  1. penguatan tata kelola;
  2. edukasi; dan
  3. penyediaan sarana dan prasarana.

Penguatan Tata Kelola

Satuan Pendidikan

Satuan pendidikan melakukan penguatan tata kelola dengan cara:
  1. menyusun dan melaksanakan tata tertib dan program Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan;
  2. menjalankan kebijakan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan yang ditetapkan oleh Kementerian dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan;
  3. merencanakan dan melaksanakan program Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan;
  4. menerapkan pembelajaran tanpa Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan;
  5. membentuk TPPK di lingkungan satuan pendidikan;
  6. memfasilitasi pelaksanaan tugas dan fungsi TPPK;
  7. melakukan kerja sama dengan instansi atau lembaga terkait dalam Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan;
  8. memanfaatkan pendanaan yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, dan/atau bantuan operasional sekolah untuk kegiatan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan;
  9. menyediakan pendanaan untuk kegiatan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Masyarakat; dan
  10. melakukan evaluasi secara berkala terhadap pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan.
Satuan pendidikan dapat melibatkan Warga Satuan Pendidikan dalam penguatan tata kelola.

Pemerintah Daerah

Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan melakukan penguatan tata kelola dengan cara:
  1. menyusun dan menetapkan peraturan kepala daerah yang mendukung Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan;
  2. mengintegrasikan program Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan ke dalam agenda prioritas kebijakan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan;
  3. mengalokasikan anggaran pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan;
  4. memfasilitasi dan membina satuan pendidikan dalam melaksanakan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan;
  5. membentuk Satuan Tugas;
  6. melakukan koordinasi lintas sektor dalam melaksanakan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan sesuai dengan kewenangan;
  7. melakukan pemantauan dan evaluasi minimal 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun terhadap pelaksanaan pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan; dan
  8. melaporkan hasil pemantauan dan evaluasi di lingkungan satuan pendidikan dalam hal diminta Kementerian.
Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan dapat melibatkan Masyarakat dalam penguatan tata kelola.

Kementerian

Kementerian melakukan penguatan tata kelola dengan cara:

  1. menyusun dan menetapkan kebijakan, prosedur operasional standar, pedoman, modul, dan program yang mendukung Pencegahan dan Penanganan Kekerasan;
  2. mengalokasikan anggaran pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan;
  3. melakukan koordinasi lintas sektor dalam melaksanakan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan; dan
  4. melaksanakan pemantauan dan evaluasi secara berkala terhadap pelaksanaan kebijakan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan secara nasional.

Edukasi

Satuan Pendidikan

Satuan pendidikan melakukan edukasi dengan cara:

  1. melakukan sosialisasi tata tertib dan program dalam rangka Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan kepada seluruh Warga Satuan Pendidikan dan orang tua/wali Peserta Didik termasuk bagi penyandang disabilitas; dan
  2. melaksanakan penguatan karakter melalui implementasi nilai Pancasila dan menumbuhkan budaya pendidikan tanpa Kekerasan kepada seluruh Warga Satuan Pendidikan.

Sosialisasi dilaksanakan pada:

  1. kegiatan pengenalan lingkungan satuan pendidikan bagi Peserta Didik baru; dan
  2. kegiatan lainnya di satuan pendidikan.

Sosialisasi dapat dilakukan melalui media elektronik dan/atau non elektronik.

Pemerintah Daerah

Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan melakukan edukasi dengan cara:

  1. melakukan sosialisasi kebijakan dan program terkait Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan kepada satuan pendidikan dan pemangku kepentingan lainnya termasuk bagi penyandang disabilitas; dan
  2. menyelenggarakan pelatihan bagi TPPK dan Satuan Tugas dalam melaksanakan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan.

Sosialisasi dilakukan minimal 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun dan dilakukan melalui media elektronik dan/atau non elektronik.

Pelatihan dilaksanakan minimal 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun dan dilaksanakan dengan menggunakan modul pelatihan dari Kementerian dan/atau bahan pelatihan lainnya yang diterbitkan oleh kementerian/lembaga yang menyelenggarakan fungsi perlindungan anak dan perempuan.

Kementerian

Kementerian melakukan edukasi dengan cara:

  1. melakukan sosialisasi kebijakan, pedoman, modul, dan program kepada pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan, satuan pendidikan, dan pemangku kepentingan lainnya mengenai kebijakan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan; dan
  2. memberikan pelatihan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan.

Sosialisasi dilakukan minimal 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun dan dapat melibatkan Masyarakat.

Penyediaan Sarana dan Prasarana

Satuan Pendidikan 

Satuan pendidikan melakukan penyediaan sarana dan prasarana dengan cara memastikan tersedianya sarana dan prasarana untuk:

  1. pelaksanaan tugas TPPK minimal berupa kanal pelaporan, ruang pemeriksaan, dan alat tulis kantor;
  2. keamanan proses pembelajaran;
  3. keamanan pada ruang publik seperti toilet, kantin, laboratorium;
  4. pelaksanaan kegiatan edukasi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan; dan
  5. keamanan dan kenyamanan fasilitas lainnya di lingkungan satuan pendidikan.

Satuan pendidikan memastikan tingkat keamanan dan kenyamanan bangunan, fasilitas pembelajaran, dan fasilitas umum lainnya, termasuk penyediaan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas.

Pemerintah Daerah

Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan melakukan penyediaan sarana dan prasarana dengan cara:

  1. menyediakan bangunan, gedung, dan fasilitas pembelajaran yang ramah bagi Peserta Didik penyandang disabilitas;
  2. menyediakan sarana untuk pelaksanaan tugas Satuan Tugas minimal berupa kanal pelaporan, ruang pemeriksaan, dan alat tulis kantor; dan
  3. menyediakan sarana untuk pelaksanaan kegiatan edukasi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan.

Pemerintah daerah memastikan tingkat keamanan dan kenyamanan bangunan, fasilitas pembelajaran, dan fasilitas umum lainnya, termasuk penyediaan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas.

Kementerian

Kementerian melakukan penyediaan sarana dan prasarana dengan cara:

  1. memfasilitasi sistem informasi atas pengelolaan data Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan; dan
  2. menyediakan layanan pelaporan Kementerian atas kasus Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan.

Penyediaan sarana dan prasarana oleh satuan pendidikan, pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan, dan Kementerian dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan dan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan

Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan

Satuan pendidikan membentuk TPPK yang diangkat dan ditetapkan oleh kepala satuan pendidikan. Dalam hal satuan pendidikan anak usia dini tidak dapat membentuk TPPK, dikarenakan sumber daya manusia tidak memadai, tugas dan wewenang TPPK dilaksanakan oleh beberapa satuan pendidikan anak usia dini yang ditetapkan oleh Dinas Pendidikan.

TPPK mempunyai tugas melaksanakan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan dan berfungsi sebagai berikut.

  1. menyampaikan usulan/rekomendasi program Pencegahan Kekerasan kepada kepala satuan pendidikan;
  2. memberikan masukan/saran kepada kepala satuan pendidikan mengenai fasilitas yang aman dan nyaman di satuan pendidikan;
  3. melaksanakan sosialisasi kebijakan dan program terkait Pencegahan dan Penanganan Kekerasan bersama dengan satuan pendidikan;
  4. menerima dan menindaklanjuti laporan dugaan Kekerasan;
  5. melakukan Penanganan terhadap temuan adanya dugaan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan;
  6. menyampaikan pemberitahuan kepada orang tua/wali dari Peserta Didik yang terlibat Kekerasan;
  7. memeriksa laporan dugaan Kekerasan;
  8. memberikan rekomendasi sanksi kepada kepala satuan pendidikan berdasarkan hasil pemeriksaan;
  9. mendampingi Korban dan/atau Pelapor Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan;
  10. memfasilitasi pendampingan oleh ahli atau layanan lainnya yang dibutuhkan Korban, Pelapor, dan/atau Saksi;
  11. memberikan rujukan bagi Korban ke layanan sesuai dengan kebutuhan Korban Kekerasan;
  12. memberikan rekomendasi pendidikan anak dalam hal Peserta Didik yang terlibat Kekerasan merupakan Anak yang Berhadapan dengan Hukum; dan
  13. melaporkan pelaksanaan tugas kepada Kepala Dinas Pendidikan melalui kepala satuan pendidikan minimal 1 (satu) kali dalam 1 (satu)tahun.

Dalam melaksanakan tugas, TPPK berwenang:

  1. memanggil dan meminta keterangan Pelapor, Korban, Saksi, Terlapor, orang tua/wali, pendamping, dan/atau ahli;
  2. berkoordinasi dengan pihak terkait dalam Pencegahan dan Penanganan Kekerasan; dan
  3. berkoordinasi dengan satuan pendidikan lain terkait laporan Kekerasan yang melibatkan Korban, Saksi, Pelapor, dan/atau Terlapor dari satuan pendidikan yang bersangkutan.

Dalam melaksanakan tugas dan fungsi, TPPK bertanggung jawab kepada kepala satuan pendidikan. TPPK di satuan pendidikan anak usia dini yang dibentuk oleh Dinas Pendidikan, bertanggung jawab kepada kepala Dinas Pendidikan.

Keanggotaan TPPK berjumlah gasal dan minimal 3 (tiga) orang. Keanggotaan TPPK terdiri atas perwakilan:

  1. Pendidik yang tidak ditugaskan sebagai kepala satuan pendidikan; dan
  2. Komite Sekolah atau perwakilan orang tua/wali.

Dalam hal diperlukan, keanggotaan TPPK dapat ditambahkan tenaga administrasi yang berasal dari perwakilan Tenaga Kependidikan. Dalam hal tidak terdapat Komite Sekolah pada satuan pendidikan nonformal, TPPK beranggotakan Pendidik. 

Keanggotaan TPPK dipersyaratkan:

  1. tidak pernah terbukti melakukan Kekerasan;
  2. tidak pernah terbukti dijatuhi hukuman pidana dengan ancaman pidana 5 (lima) tahun atau lebih yang telah berkekuatan hukum tetap; dan/atau
  3. tidak pernah dan/atau tidak sedang menjalani hukuman disiplin pegawai tingkat sedang atau berat.

Persyaratan dituangkan dalam surat pernyataan yang ditandatangani dan dibubuhi materai. Dalam hal calon anggota TPPK memberikan pernyataan yang tidak sesuai, dapat dilakukan tindakan hukum.

TPPK dipimpin oleh koordinator yang berasal dari unsur Pendidik dan masa tugas TPPK selama 2 (dua) tahun dan dapat diangkat kembali.

Keanggotaan TPPK berakhir karena:

  1. berakhirnya masa tugas;
  2. meninggal dunia;
  3. mengundurkan diri;
  4. tidak lagi memenuhi unsur keanggotaan;
  5. terbukti melakukan Kekerasan berdasarkan hasil identifikasi kasus Kekerasan yang dilakukan oleh Satuan Tugas;
  6. menjadi tersangka tindak pidana kecuali tindak pidana ringan;
  7. berhalangan tetap yang mengakibatkan tidak dapat melaksanakan tugas; atau
  8. pindah tugas atau mutasi.

Kepala satuan pendidikan atau kepala Dinas Pendidikan sesuai kewenangan melakukan evaluasi kinerja TPPK minimal 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.

Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan

Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan membentuk Satuan Tugas yang ditetapkan oleh kepala daerah atas usulan kepala Dinas Pendidikan. Satuan Tugas mempunyai tugas pelaksanaan pembinaan, pemantauan, dan pengawasan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan pada satuan pendidikan di wilayah sesuai kewenangan.

Dalam melaksanakan tugas, Satuan Tugas memiliki fungsi:

  • melakukan Pencegahan dan Penanganan kasus Kekerasan pada satuan pendidikan di wilayah sesuai kewenangannya;
  • membina, mendampingi, dan mengawasi TPPK;
  • memfasilitasi TPPK untuk berkoordinasi dengan:

  1. dinas terkait;
  2. lembaga layanan;
  3. ahli; atau
  4. pihak terkait, yang dibutuhkan dalam Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan;

  • memastikan pemenuhan hak pendidikan atas Peserta Didik yang terlibat Kekerasan dalam wilayah kerja Satuan Tugas, berupa:

  1. pemberian jaminan layanan pendidikan bagi Peserta Didik; dan
  2. koordinasi dengan pihak terkait dalam penyediaan akses layanan pendidikan.

  • memfasilitasi pemenuhan hak pendidikan atas anak yang berhadapan dengan hukum, berupa:

  1. pemberian rekomendasi layanan pendidikan anak terhadap anak yang berhadapan dengan hukum kepada aparat penegak hukum;
  2. pemetaan sumber daya untuk mendukung pendidikan anak selama menjalani proses peradilan atau selama menjalani putusan/penetapan pengadilan; dan
  3. koordinasi dengan pihak terkait dalam penyediaan akses layanan pendidikan.

  • melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan minimal 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun; dan
  • melaporkan hasil pemantauan dan evaluasi kepada Dinas Pendidikan setiap 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.

Dalam pelaksanaan tugas, Satuan Tugas dapat berkoordinasi dengan:

  1. dinas kesehatan atau dinas terkait lainnya;
  2. psikolog, dokter, atau tenaga kesehatan lainnya;
  3. pekerja sosial;
  4. unit pelaksana teknis Kementerian pada daerah setempat;
  5. perwakilan organisasi Masyarakat sipil atau praktisi yang berfokus pada bidang pendidikan dan/atau bidang Penanganan Kekerasan; dan/atau
  6. pihak lain yang diperlukan dalam Penanganan Kekerasan.

Dalam melaksanakan tugas dan fungsi, Satuan Tugas bertanggung jawab kepada Kepala Daerah melalui kepala Dinas Pendidikan.

Keanggotaan Satuan Tugas berjumlah gasal dan minimal 5 (lima) orang. Keanggotaan Satuan Tugas terdiri atas unsur:

  1. perwakilan Dinas Pendidikan sesuai dengan kewenangan;
  2. perwakilan dinas yang menyelenggarakan fungsi bidang perlindungan anak;
  3. perwakilan dinas yang menyelenggarakan fungsi bidang sosial; dan
  4. organisasi atau bidang profesi yang terkait dengan anak.

Keanggotaan Satuan Tugas dipersyaratkan:

tidak pernah terbukti melakukan Kekerasan;

  1. tidak pernah terbukti dijatuhi hukuman pidana dengan ancaman pidana 5 (lima) tahun atau lebih yang telah berkekuatan hukum tetap; dan/atau
  2. tidak pernah dan/atau tidak sedang menjalani hukuman disiplin pegawai tingkat sedang atau berat.

Persyaratan dituangkan dalam surat pernyataan yang ditandatangani dan dibubuhi materai.

Satuan Tugas dipimpin oleh koordinator yang berasal dari unsur perwakilan Dinas Pendidikan dan masa tugas Satuan Tugas selama 4 (empat) tahun dan dapat diangkat kembali.

Keanggotaan Satuan Tugas berakhir karena:

  1. berakhirnya masa tugas;
  2. meninggal dunia;
  3. mengundurkan diri;
  4. tidak lagi memenuhi syarat keanggotaan;
  5. terbukti melakukan Kekerasan berdasarkan pemeriksaan kasus Kekerasan yang dilakukan Satuan Tugas;
  6. menjadi tersangka tindak pidana kecuali tindak pidana ringan;
  7. berhalangan tetap yang mengakibatkan tidak dapat melaksanakan tugas; atau
  8. pindah tugas atau mutasi.

Kepala Daerah melakukan evaluasi kinerja Satuan Tugas minimal 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.

Sanksi bagi Kepala Satuan Pendidikan, TPPK, dan Satuan Tugas

Dalam melaksanakan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan, kepala satuan pendidikan, dan penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan oleh Masyarakat dilarang:

  • melakukan pembiaran terjadinya Kekerasan yang mengakibatkan:

  1. luka fisik berat;
  2. kerusakan fisik permanen;
  3. kematian; dan/atau
  4. trauma psikologis berat;

  • tidak menindaklanjuti laporan dugaan terjadinya Kekerasan kepada TPPK atau Satuan Tugas;
  • melakukan penyebaran identitas Korban, Saksi, Terlapor, maupun pihak terkait dan informasi kasus berjalan kepada publik; dan/atau
  • berpihak kepada Terlapor/pelaku.

Dalam melaksanakan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan, TPPK dilarang:
  • melakukan pembiaran terjadinya Kekerasan yang mengakibatkan:
  1. luka fisik berat;
  2. kerusakan fisik permanen;
  3. kematian; dan/atau
  4. trauma psikologis berat; dan/atau
  • melakukan penyebaran identitas Korban, Saksi, Terlapor, maupun pihak terkait dan informasi kasus berjalan kepada publik.
Dalam melaksanakan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan, Satuan Tugas dilarang:
  • melakukan pembiaran terjadinya Kekerasan yang mengakibatkan:
  1. luka fisik berat;
  2. kerusakan fisik permanen;
  3. kematian; dan/atau
  4. trauma psikologis berat; dan/atau
  • melakukan penyebaran identitas Korban, Saksi, Terlapor, maupun pihak terkait dan informasi kasus berjalan kepada publik.

TPPK yang melanggar larangan diberikan sanksi oleh kepala satuan pendidikan. Kepala satuan pendidikan, penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan oleh Masyarakat, dan Satuan Tugas yang melanggar larangan diberikan sanksi oleh Kepala Dinas Pendidikan.

Kepala satuan pendidikan, TPPK dan Satuan Tugas yang berstatus ASN yang melanggar, diberikan sanksi sesuai dengan peraturan perundangan-undangan. Sanksi berupa:

  1. teguran tertulis;
  2. pernyataan permohonan maaf tertulis yang disampaikan melalui papan pengumuman di satuan pendidikan dan/atau media massa;
  3. pemberhentian dari jabatan keanggotaan TPPK atau keanggotaan Satuan Tugas; dan/atau
  4. penutupan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Masyarakat.

Dalam hal Pelaku Kekerasan merupakan bagian dari penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan oleh Masyarakat, diberikan sanksi tambahan berupa penutupan satuan pendidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal dilakukan penutupan satuan pendidikan, Dinas Pendidikan harus memfasilitasi pengalihan Peserta Didik ke satuan pendidikan lainnya.

Dalam hal Pelaku Kekerasan merupakan bagian dari penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan oleh Masyarakat yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, tidak diperbolehkan menyelenggarakan atau mengelola satuan pendidikan.

Tata Cara Penanganan Kekerasan

Penanganan Kekerasan dilakukan oleh:

  1. satuan pendidikan;
  2. pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan; dan
  3. Kementerian.

Penanganan Kekerasan oleh satuan pendidikan dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

  1. penerimaan laporan;
  2. pemeriksaan;
  3. penyusunan kesimpulan dan rekomendasi;
  4. tindak lanjut laporan hasil pemeriksaan; dan
  5. pemulihan.

Penanganan Kekerasan oleh satuan pendidikan dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan dapat dilakukan tanpa melalui tahapan penerimaan laporan dalam hal adanya temuan dugaan Kekerasan.

Penanganan Kekerasan oleh satuan pendidikan dilaksanakan oleh TPPK. Dalam hal TPPK tidak melaksanakan Penanganan, Satuan Tugas memberi peringatan kepada TPPK pada satuan pendidikan untuk melaksanakan Penanganan dugaan Kekerasan. Apabila TPPK telah diberi peringatan, namun masih belum melaksanakan Penanganan dugaan Kekerasan, Penanganan Kekerasan dilaksanakan oleh Satuan Tugas.

Penanganan Kekerasan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan dilaksanakan oleh Satuan Tugas dalam hal:

  1. Terlapor merupakan kepala satuan pendidikan;
  2. Kekerasan melibatkan lebih dari 1 (satu) satuan pendidikan;
  3. Kekerasan melibatkan anggota TPPK; dan/atau
  4. TPPK tidak melaksanakan tugas, dengan mengikuti tahapan di atas.

Penanganan Kekerasan oleh Kementerian dilaksanakan oleh kelompok kerja yang dibentuk oleh Menteri untuk melakukan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di bidang pendidikan dan dilakukan dalam hal Satuan Tugas tidak melaksanakan Penanganan kasus Kekerasan. Kementerian melaksanakan Penanganan Kekerasan dengan mendorong Dinas Pendidikan untuk memastikan Satuan Tugas agar melakukan Penanganan Kekerasan. Dalam hal Satuan Tugas tidak melaksanakan Penanganan Kekerasan, Kementerian dapat merekomendasikan sanksi kepada Dinas Pendidikan atau kepala daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Penanganan Kekerasan dilaksanakan dengan menjamin Peserta Didik baik sebagai Terlapor, Pelaku, Saksi, atau Korban memperoleh layanan pendidikan. Jaminan layanan pendidikan bagi Peserta Didik berupa:

  1. keberlanjutan pendidikan; dan/atau
  2. rekomendasi bentuk layanan pendidikan.

Jaminan layanan pendidikan, termasuk Peserta Didik usia anak yang berhadapan dengan hukum.

Dalam melaksanakan Penanganan Kekerasan, satuan pendidikan, pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan, atau Kementerian dapat memberikan pendampingan. Pendampingan diberikan kepada:

  1. Korban, Saksi, Terlapor berusia anak, atau pelaku berusia anak, yang berstatus Peserta Didik; dan
  2. Korban atau Saksi yang berstatus Pendidik atau Tenaga Kependidikan.

Pemberian pendampingan difasilitasi oleh TPPK melalui koordinasi dengan Satuan Tugas dengan menggunakan layanan yang disediakan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan.

Pendampingan berupa:

  1. konseling;
  2. layanan kesehatan;
  3. bantuan hukum;
  4. advokasi;
  5. bimbingan sosial dan rohani; dan/atau
  6. layanan pendampingan lain.

Dalam hal Korban atau Saksi merupakan penyandang disabilitas, pendampingan dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan ragam penyandang disabilitas.

Pendampingan dilakukan berdasarkan persetujuan Korban, Saksi, Terlapor berusia anak, atau pelaku berusia anak, yang berstatus Peserta Didik. Dalam hal Korban, Saksi, Terlapor, atau pelaku berusia anak, persetujuan dapat diberikan oleh orang tua/wali Korban atau pendamping.

Penerimaan Laporan

Pelapor dapat melaporkan dugaan Kekerasan kepada:

  1. TPPK;
  2. Satuan Tugas;
  3. pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan; dan/atau
  4. Kementerian.

Laporan dugaan Kekerasan dapat disampaikan secara:

  • langsung;
  • tidak langsung, melalui kanal pelaporan yang disediakan dalam bentuk:

  1. surat tertulis;
  2. telepon;
  3. pesan singkat elektronik;
  4. surat elektronik; dan/atau
  • bentuk penyampaian laporan lain yang memudahkan Pelapor.

Laporan tidak harus disertai dengan bukti awal.

Dalam menindaklanjuti laporan, TPPK atau Satuan Tugas melakukan tindakan awal terhadap Korban atau Saksi yang dapat berupa:

  1. memfasilitasi keamanan Korban dan Saksi;
  2. memfasilitasi bantuan pendampingan psikis; dan/atau
  3. memfasilitasi keberlanjutan hak pendidikan atau pekerjaan Korban dan Saksi.

Pemeriksaan

TPPK atau Satuan Tugas menyampaikan panggilan kepada Pelapor/Korban, Saksi, dan Terlapor melalui:

  1. surat panggilan secara tertulis; dan/atau
  2. panggilan secara lisan.

Dalam hal Pelapor, Korban, dan/atau Saksi merupakan Peserta Didik anak, panggilan disampaikan kepada orang tua/wali Peserta Didik. Apabila Terlapor tidak hadir sampai panggilan ketiga, pemeriksaan dilanjutkan tanpa kehadiran Terlapor.

TPPK atau Satuan Tugas melakukan pemeriksaan atas laporan dugaan Kekerasan dengan merahasiakan identitas Korban, Saksi, dan Peserta Didik Terlapor sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Pemeriksaan bertujuan untuk mengumpulkan:

  1. keterangan dari Pelapor/Korban, Saksi, dan/atau Terlapor; dan/atau
  2. bukti lain yang diperlukan.

Jika Korban, Saksi, dan/atau Pelapor merupakan Peserta Didik berusia anak, TPPK atau Satuan Tugas memastikan Peserta Didik berusia anak didampingi oleh orang tua/wali. Dan jika Korban, Saksi, dan/atau Terlapor merupakan penyandang disabilitas, TPPK atau Satuan Tugas menghadirkan orang tua/wali dan/atau menyediakan pendamping dengan memperhatikan ragam penyandang disabilitas dalam proses pemeriksaan permintaan keterangan. Pemeriksaan terhadap Pelapor/Korban, Saksi, dan/atau Terlapor dituangkan dalam berita acara.

Jangka waktu pemeriksaan diselesaikan maksimal 30 (tiga puluh) hari kerja, terhitung sejak permintaan keterangan dari Pelapor/Korban. Jika pemeriksaan tidak selesai dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja, TPPK atau Satuan Tugas harus membuat pernyataan pemeriksaan tidak dapat dilanjutkan dan dapat menyatakan pemeriksaan dihentikan dalam hal:

  1. Terlapor meninggal dunia/tidak ditemukan/sakit berat berdasarkan keterangan dokter;
  2. Korban tidak ditemukan; dan/atau
  3. pembuktian belum cukup.

Penghentian pemeriksaan ditetapkan oleh ketua TPPK atau ketua Satuan Tugas dan disampaikan kepada:

  1. kepala satuan pendidikan;
  2. kepala Dinas Pendidikan;
  3. Terlapor; dan
  4. Pelapor/Korban.

TPPK atau Satuan Tugas dapat melanjutkan kembali pemeriksaan laporan Kekerasan yang telah dihentikan apabila ditemukan bukti baru.

Penyusunan Kesimpulan dan Rekomendasi

TPPK atau Satuan Tugas menyusun kesimpulan dan rekomendasi sebagai bagian dari laporan hasil pemeriksaan. Kesimpulan memuat informasi:

  1. terbukti adanya Kekerasan; atau
  2. tidak terbukti adanya Kekerasan.

Kesimpulan minimal memuat informasi:

  1. identitas Terlapor;
  2. bentuk Kekerasan; dan
  3. pernyataan terbukti atau tidak terbukti adanya Kekerasan.

Dalam hal dinyatakan terbukti adanya Kekerasan, rekomendasi memuat:
  1. sanksi administratif kepada pelaku;
  2. pemulihan Korban/Pelapor dan/atau Saksi dalam hal belum dilakukan atau sepanjang masih dibutuhkan; dan
  3. tindak lanjut keberlanjutan layanan pendidikan.
Dalam hal dinyatakan tidak terbukti adanya Kekerasan, rekomendasi memuat:
  1. tindak lanjut keberlanjutan layanan pendidikan; dan
  2. pemulihan nama baik Terlapor.

TPPK atau Satuan Tugas menyampaikan laporan hasil pemeriksaan kepada kepala satuan pendidikan atau kepala Dinas Pendidikan sesuai dengan kewenangan.

Tindak Lanjut Laporan Hasil Pemeriksaan

Kepala satuan pendidikan atau kepala Dinas Pendidikan menindaklanjuti laporan hasil pemeriksaan maksimal 5 (lima) hari kerja dengan menerbitkan keputusan. Keputusan memuat:

  1. pengenaan sanksi administratif terhadap Terlapor dalam hal keputusan menetapkan terbukti adanya Kekerasan; atau
  2. pemulihan nama baik Terlapor dalam hal keputusan menetapkan tidak terbukti adanya Kekerasan.

Salinan keputusan disampaikan kepada:

  1. Terlapor;
  2. Dinas Pendidikan, dalam hal keputusan ditandatangani oleh kepala satuan pendidikan; dan
  3. satuan pendidikan, dalam hal keputusan ditandatangani oleh kepala dinas.

Dalam hal Terlapor merupakan Peserta Didik, salinan keputusan disampaikan kepada orang tua/wali Peserta Didik.

Tingkat sanksi administratif bagi Terlapor terdiri atas:

  1. ringan;
  2. sedang; dan
  3. berat.

Terlapor Peserta Didik

Dalam hal Terlapor merupakan Peserta Didik, pengenaan tingkat sanksi administratif berprinsip pada:

  1. sanksi bersifat mendidik;
  2. tetap memenuhi hak pendidikan Peserta Didik;
  3. melindungi kondisi psikis Peserta Didik;
  4. membangun rasa bertanggung jawab Peserta Didik; dan
  5. berpedoman pada ketentuan mengenai perlindungan anak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sanksi administratif ringan bagi Terlapor Peserta Didik berupa teguran tertulis.

Sanksi administratif sedang bagi Terlapor Peserta Didik berupa tindakan yang bersifat edukatif yang harus dilakukan dalam kurun waktu minimal selama 5 (lima) hari sekolah dan maksimal selama 10 (sepuluh) hari sekolah.

Sanksi administratif berat bagi Terlapor Peserta Didik berupa pemindahan Peserta Didik ke satuan pendidikan lain.

Pengenaan sanksi administratif berat merupakan upaya terakhir yang hanya dilakukan apabila:

  • tindakan Kekerasan yang dilakukan oleh Peserta Didik mengakibatkan Korban mengalami:

  1. luka fisik berat;
  2. kerusakan fisik permanen;
  3. kematian; dan/atau
  4. trauma psikologis berat, dan

  • terdapat rekomendasi dari Satuan Tugas dan/atau Dinas Pendidikan.

Dinas Pendidikan memfasilitasi pemindahan Peserta Didik ke satuan pendidikan baru dalam pemberian sanksi berat.

Peserta Didik yang dikenakan sanksi administratif berat harus mengikuti program konseling sebelum memulai proses pembelajaran di satuan pendidikan baru. Program konseling dilaksanakan pada lembaga atau perangkat daerah yang memiliki kewenangan dalam bidang kesehatan, sosial, dan/atau perlindungan perempuan dan anak yang ditunjuk oleh Satuan Tugas.

Pembiayaan program konseling dibebankan pada pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan. Selama mengikuti program konseling, Peserta Didik dapat mengikuti pembelajaran baik secara luring atau daring selama atau setelah selesai konseling.

Lembaga atau perangkat daerah melaporkan pelaksanaan konseling secara berkala kepada Satuan Tugas dan memberikan laporan hasil program konseling kepada Dinas Pendidikan untuk menilai kesiapan Peserta Didik mengikuti proses pembelajaran di satuan pendidikan baru.

Satuan Tugas dan TPPK mendampingi proses reintegrasi Peserta Didik di lingkungan satuan pendidikan baru dan melaporkan perkembangan pendampingan dan proses reintegrasi Peserta Didik kepada Dinas Pendidikan minimal 30 (tiga puluh) hari kerja setelah Peserta Didik memulai proses pembelajaran di lingkungan satuan pendidikan baru.

Satuan Tugas dan Dinas Pendidikan menjamin Peserta Didik dapat mengikuti pembelajaran dengan nyaman dan aman pada satuan pendidikan baru.

Terlapor PTK ASN

Pengenaan sanksi administratif bagi Terlapor Pendidik dan Tenaga Kependidikan ASN dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Terlapor PTK Non ASN

Sanksi administratif ringan bagi Terlapor Pendidik dan Tenaga Kependidikan non ASN, terdiri atas:

  1. teguran tertulis; atau
  2. pernyataan permohonan maaf secara tertulis yang dipublikasikan di media publikasi yang dimiliki satuan pendidikan.

Sanksi administratif sedang bagi Terlapor Pendidik dan Tenaga Kependidikan non ASN, terdiri atas:
  1. pengurangan hak; atau
  2. pemberhentian sementara dari jabatan sebagai Pendidik/Tenaga Kependidikan.

Sanksi administratif berat bagi Terlapor Pendidik dan Tenaga Kependidikan non ASN berupa pemutusan/pemberhentian hubungan kerja. 

Pengenaan sanksi administratif berat dilakukan apabila Terlapor Pendidik dan Tenaga Kependidikan:

  • terbukti melakukan Kekerasan dan/atau melakukan pembiaran terjadinya Kekerasan yang mengakibatkan:

  1. luka fisik berat;
  2. kerusakan fisik permanen;
  3. kematian; dan/atau
  4. trauma psikologis berat; dan/atau

  • terbukti melakukan Kekerasan minimal 3 (tiga) kali dalam masa jabatannya yang mengakibatkan luka fisik ringan atau dampak psikologis ringan.

Mekanisme pengenaan sanksi administratif bagi Terlapor Pendidik dan Tenaga Kependidikan non ASN diatur lebih lanjut dalam peraturan penyelenggara satuan pendidikan.

Pemberian Rekomendasi

Pemberian rekomendasi sanksi administratif atau pengenaan sanksi administratif mempertimbangkan hal yang meringankan atau hal yang memberatkan. Hal yang meringankan yaitu:

  1. Korban mengalami dampak fisik berupa luka yang ringan dan/atau dampak psikis yang ringan;
  2. Korban bersedia memaafkan perbuatan pelaku tanpa tekanan dari siapapun;
  3. pelaku bersedia atau telah membiayai pengobatan atas kondisi Korban;
  4. pelaku merupakan Peserta Didik penyandang disabilitas; dan/atau
  5. pelaku berusia anak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Hal yang memberatkan yaitu:

  1. Korban mengalami dampak fisik dan/atau psikis yang sedang atau berat;
  2. pelaku telah melakukan tindakan Kekerasan lebih dari 1 (satu) kali;
  3. jumlah Korban lebih dari 1 (satu) orang;
  4. Korban merupakan penyandang disabilitas; dan/atau
  5. pelaku merupakan anggota TPPK, Satuan Tugas, kepala satuan pendidikan, Pendidik, atau Tenaga Kependidikan lainnya di satuan pendidikan.

Pemberian sanksi administratif yang diatur dalam peraturan ini tidak menyampingkan pengenaan sanksi administratif lain dan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Pengajuan Keberatan

Dalam hal keputusan dianggap tidak adil, Korban atau pelaku dapat mengajukan keberatan. Pengajuan keberatan oleh Korban atau pelaku disampaikan kepada:

  1. Satuan Tugas atas putusan yang dikeluarkan oleh TPPK; atau
  2. pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan atas putusan yang dikeluarkan oleh Satuan Tugas.

Dalam melakukan pemeriksaan keberatan terhadap kepala satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Masyarakat, pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan melibatkan pengurus penyelenggara satuan pendidikan yang mendirikan satuan pendidikan bersangkutan.

Pengajuan keberatan diajukan oleh Korban atau pelaku maksimal 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diterima. Dalam hal pelaku merupakan Pendidik atau Tenaga Kependidikan ASN, pengajuan keberatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Satuan Tugas atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan menindaklanjuti pengajuan keberatan dengan melakukan evaluasi terhadap:

  1. putusan yang dikeluarkan oleh TPPK; atau
  2. putusan yang dikeluarkan oleh Satuan Tugas.

Evaluasi berupa pemeriksaan terhadap putusan dan dokumen pendukung.

Satuan Tugas atau pemerintah daerah sesuai kewenangan dalam melakukan evaluasi dapat meminta keterangan dari pihak terkait atau meminta dokumen lain yang diperlukan dan berdasarkan hasil evaluasi menyatakan:

  • menguatkan putusan TPPK atau Satuan Tugas;

  1. mengubah putusan berupa:
  2. meringankan sanksi; atau
  3. memberatkan sanksi, atau

  • membatalkan putusan;

Hasil evaluasi berupa pengubahan putusan atau pembatalan putusan TPPK atau Satuan Tugas diberikan setelah dilakukan pemeriksaan ulang oleh Satuan Tugas atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan.

Tindak lanjut terhadap Pembatalan putusan TPPK atau Satuan Tugas dilakukan melalui:

  1. pemulihan nama baik pelaku; atau
  2. pengenaan sanksi administratif bagi Terlapor.

Dalam hal terjadinya Kekerasan melalui kebijakan  pendidikan, Satuan Tugas atau pemerintah daerah sesuai kewenangan berdasarkan hasil evaluasi merekomendasikan TPPK atau Satuan Tugas untuk mengubah putusan, dengan menyatakan pembatalan atau pencabutan kebijakan pendidikan yang:

  1. mengandung unsur Kekerasan; atau
  2. telah menimbulkan terjadinya Kekerasan.

Putusan Satuan Tugas atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan atas pengajuan keberatan bersifat final dan dijatuhkan maksimal 30 (tiga puluh) hari sejak pengajuan keberatan diterima.

Pemulihan

Pemulihan terhadap Korban, Saksi, dan/atau pelaku Peserta Didik berusia anak dapat dilakukan sejak pelaporan diterima oleh TPPK atau Satuan Tugas.

TPPK atau Satuan Tugas melakukan identifikasi dampak psikis, fisik, proses pembelajaran, dan pekerjaan yang dialami Korban, Saksi, dan pelaku Peserta Didik berusia anak sejak tindakan Kekerasan diketahui atau dilaporkan. Identifikasi dampak yang dialami Korban, Saksi, dan pelaku Peserta Didik berusia anak bertujuan untuk menentukan layanan pemulihan yang dibutuhkan Korban, Saksi, dan pelaku Peserta Didik berusia anak.

Dalam melakukan identifikasi dampak dan pemulihan, TPPK atau Satuan Tugas dapat mengikutsertakan psikolog, tenaga medis, tenaga kesehatan, pekerja sosial, rohaniawan, dan/atau profesi lainnya sesuai kebutuhan.

Layanan pemulihan terhadap Korban, Saksi, dan pelaku Peserta Didik berusia anak dilaksanakan oleh TPPK dan Satuan Tugas dengan difasilitasi oleh pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan mengenai usia anak dikecualikan bagi Korban, Saksi, dan/atau pelaku Peserta Didik penyandang disabilitas mental dan disabilitas intelektual.

Hak Korban, Pelapor, Saksi, dan Peserta Didik Sebagai Terlapor Dalam Penanganan Kekerasan

Korban dan Pelapor berhak atas:

  1. informasi terhadap seluruh proses dan hasil Penanganan Kekerasan;
  2. pelindungan dari ancaman atau Kekerasan Terlapor dan/atau pihak lain;
  3. pelindungan atas potensi berulangnya Kekerasan;
  4. pelindungan atas kerahasiaan identitas dan informasi kasus;
  5. akses layanan pendidikan atau pelindungan dari kehilangan pekerjaan; dan
  6. layanan pendampingan dan/atau pemulihan sesuai kebutuhannya.

Saksi berhak atas:

  1. pelindungan atas kerahasiaan identitas dan informasi kasus;
  2. pelindungan dari ancaman atau Kekerasan Terlapor dan/atau pihak lain;
  3. layanan pendampingan dan/atau pemulihan sesuai kebutuhannya; dan
  4. akses layanan pendidikan atau pelindungan dari kehilangan pekerjaan.

Peserta Didik sebagai Terlapor berhak atas:

  1. pelindungan atas kerahasiaan identitas dan informasi kasus;
  2. pelindungan dari ancaman atau Kekerasan;
  3. akses layanan pendidikan; dan
  4. layanan pendampingan dan/atau pemulihan sesuai kebutuhannya.

Hak bagi Korban, Pelapor, Saksi, dan Peserta Didik sebagai Terlapor yang merupakan penyandang disabilitas, diberikan dengan memperhatikan ragam disabilitas.

Pelindungan atas kerahasiaan identitas dan informasi kasus termasuk tidak melakukan penyebarluasan data atau identitas pribadi.

Partisipasi Masyarakat

Masyarakat dapat berpartisipasi dalam Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan. Partisipasi Masyarakat dalam Pencegahan dan Penanganan Kekerasan diwujudkan dengan:

  1. menyebarluaskan materi atau informasi mengenai Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan;
  2. turut serta dalam program atau kegiatan Pencegahan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan; dan
  3. melaporkan Kekerasan yang diketahui ke satuan pendidikan, TPPK, Satuan Tugas, atau pihak terkait lainnya;
  4. memantau penyelenggaraan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan;
  5. mendukung pelaksanaan pemenuhan hak dan pelindungan bagi Korban, Saksi, dan Pelapor;
  6. mendukung pelaksanaan pelindungan bagi Terlapor berusia anak; dan
  7. bentuk partisipasi lain yang mendukung penyelenggaraan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan.

Pengelolaan Data Kasus Kekerasan

TPPK, Satuan Tugas, pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan, dan Kementerian melakukan pengelolaan data kasus Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan sesuai dengan kewenangan. Pengelolaan data kasus Kekerasan bertujuan untuk:

  1. menyediakan data kasus Kekerasan yang akurat dan tercatat dalam sistem informasi; dan/atau
  2. mendukung pemantauan dan evaluasi pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan.

Pengelolaan data kasus Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan memperhatikan pelindungan data pribadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dapat menggunakan sistem informasi.

Hasil pengolahan data dimanfaatkan untuk pelaksanaan evaluasi dan/atau perubahan kebijakan mengenai Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan.

Penghargaan

Menteri, gubernur, bupati, dan walikota sesuai dengan kewenangan dapat memberikan penghargaan kepada pemerintah daerah, satuan pendidikan, TPPK, Satuan Tugas, dan Masyarakat yang berperan serta dalam upaya penyelenggaraan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan.

Petunjuk Teknis

Sekretaris Jenderal menetapkan petunjuk teknis mengenai tata cara pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan, mekanisme pembentukan TPPK dan Satuan Tugas, pengelolaan data kasus Kekerasan, serta pemberian penghargaan dalam upaya penyelenggaraan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan.

Pendanaan

Kementerian, pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan, dan penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan oleh Masyarakat wajib menganggarkan pendanaan untuk pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan.

Pendanaan untuk pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan dapat bersumber dari:

  1. anggaran pendapatan dan belanja negara;
  2. anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan/atau
  3. sumber lainnya yang sah dan tidak mengikat.


Sumber Rujukan:

Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.